Kematian adalah bagian dari setiap orang dan makluk ciptaan Tuhan, yang tidak mungkin dihindari. Ia begitu menyengat nyawa, tidak memandang ras, ekonomi, usia, jabatan, dan Agama. Alkitab secara “konsisten” mengaitkan kematian itu dengan dosa atau maut. (bnd Kej. 2:17; Maz 90:7-11; Rm 5:12; 6:23; 1 Kor 15:21 dan Yak 1:1-5).
Manusia ditetapkan untuk mati hanya satu kali saja (Ibr 9:27), walaupun sering kita mendengar orang mengatakan ada yang mati dan hidup lagi, biasanya itu yang disebut dengan mati suri. Sebenarnya kematian itu tidak sesuai dengan kodrat manusia, hal ini disebabkan oleh pemberontakkannya kepada Allah. Bruce Milne, menambahkan bahwa ini merupakan salah satu bentuk hukuman ilahi. Namun menurut firman Tuhan , walaupun kematian itu tak terelakkan, bukan merupakan akhir dari segala sesuatu. Itu sebabnya pada masa manusia itu diberi kesempatan untuk hidup, haruslah mempergunakan kesempatan itu dengan sebaik-baiknya.
Reaksi manusia terhadap kematian itu bermacam-macam, tergantung siapa yang mati. Jikalau yang mati adalah kerabat dekat , dikenal atau dikasihi maka ada rasa kehilangan dan kesedihan yang sangat mendalam sekali. Sebaliknya terhadap orang yang tidak dikenal, reaksinyapun biasa-biasa saja. Selain itu tergantung juga bagaimana matinya; karena sakit, kecelakaan dan setelah itu reaksinya paling hanya terenyuh terharu.
Kematian bagi kalangan Tionghoa dalam hal ini orang Tionghoa tradisi masih sangat tabu untuk dibicarakan, sebab mereka percaya bahwa kematian merupakan sumber “malapetaka” atau “sial”. Itulah sebabnya perlu ditangani dengan ritual keagamaan yang benar sehingga kelak mereka tidak diganggu oleh roh yang meninggal itu.
Konsep kematian menurut firman Tuhan jelas berbeda dengan konsep orang Tionghoa tradisi ini, untuk memahaminya kita harus melihat sekilas latar belakang kehidupan mereka, dimulai dari kelompok masyarakat terkecil yakni keluarga. Ada beberapa bagian yang saya rasa sangat perlu kita pelajari sehubungan dengan masalah kematian ini.
Tabu terhadap berbagai perayaan
Dalam masa berkabung, ada beberapa perayaan penting orang Tionghoa yang sangat tabu (tidak boleh) diselenggarakan. Masing-masing perayaan serta alasan tabunya dapat dijelaskan secara singkat di bawah ini.
- Hari Raya Imlek
Hari Raya ini tidak boleh dirayakan oleh oranag yang sedang ditimpa kemalangan (berduka).
- Perayaan Peh Chun
Perayaan Peh Chun (sembahyang Kue Cang) juga tidak boleh dirayakan oleh mereka yang berduka, menurut kepercayaan mereka tatakala membungkus dan mengikat tali Kue Cang, akan turut terikat kaki arwah itu.
- Perayaan Tang Cek
Perayaan Tang Cek adalah sembahyang dengan mempersembahkan kue ronde. Alasan tabu terhadap perayaan ini adalah tatakala membuat kue ronde tersebut, mata arwah itu akan tertekan.
h. Penyeleggaraan Kong Tiek
Kong Tiek diadakan sesuai dengan keuangan yang ada, itu sebabnya ada beberapa keluarga yang harus menunggu rejeki terlebih dahulu. Kong Tiek terdiri dari seperangkat barang-barang dari bambu, berupa , rumah,mobil, TV dan sebagainya. Dengan dipimpin oleh seorang padri, barang-barang tersebut diantar ke alam baka, dengan tujuan agar arwah itu dapat memakainya di sana.
i. Tjeng Beng
Tanggal perayaan Tjeng Beng menurut lunar kalender Tionghoa biasanya jatuh pada awal bulan ke tiga. Menurut penanggalan masehi sekitar tangal 5 atau 6 April. Pada hari itu[18] orang Tionghoa tradis berziarah ke malam leluhur dengan membawa dupa (hio), lilin, kertas sembahyang dan sajian. Tjeng Beng juga tabu Chiong terhadap shio tertentu, jadai tidak semua orang diperkenankan mengunjungi kuburan setiap tahunnya.
Pada dasarnya melalui uraian ini dapatlah kita mengambil kesimpulan bahwa kematian bagi orang Tionghoa tradisi merupakan sesuatu yang tabu, mengerikan dan penuh misteri. Mereka percaya ada kehidupan setelah kematian, namun sayang semuanya penuh ketidak-berdayaan dan penderitaan, sehingga orang-orang yang meninggal justru memerlukan pertolongan dari sanak keluarga, misalnya dalam memenuhi kebutuhan makanan,pakaian, rumah serta uang. Herannya dalam ritual yang lain, sanak keluarga menganggap bahwa orang yang mati itu sudah menjadi dewa, sehingga mereka datang kepada arwah tersebut untuk mohon berkat (rejeki).
Kekristenan mengajarkantentang kehidupan orang percaya sesudah kematian, firman Tuhan menyatakan sebagai “kebangkitan tubuh” (Lih 1 Kor 15:35-58), yang sesungguhnya mencerminkan kesaksianAlkitab tentang kesatuan hakiki manusia. Kematian bukan lagi suatu hal yang menakutkan dan tabu, tetapi suatu keuntungan karena langsung dapat bersekutu dengan Allah (Flp 1:21). Oleh sebab itu bagi orang percaya, di dalam Tuhan Yesus ada kepastian, yakni hidup kekal bersama Tuhan Yesus.
Dalam Alkitab, Allah juga memerintahkan kita menghormati orang tua. Bagi saya menghormati orang tua adalah semasa ia masih hidup, kita mengasihi dia, merawatnya dan sebagainya. Walaupun kita boleh saja mengenang segala kebaikannya, namun caranya harus jelas, tidak bertentangan dengan iman kerohanian kita. Jadi bagi kita, ada hal-hal yang sebenarnya boleh diteladani dari orang Tionghoa tradisi sejauh tidak merupakan ibadah. Sebaiknya kalau pihak keluarga sudah menyerahkan tata-cara ke pihak gereja, biarlah semua itu diatur oleh pihak gereja, janganlah dicampur-aduk tata-caranya dan hal ini perlu dipahami betul oleh keluarga.
Dipihak lain lagi saya sangat kagum terhadap tradisi Tionghoa yang menekankan Hao dalam dalam setiap hidup keluarga mereka, yakni bagaimana kita menghargai yang lebih tua dan sekaligus menghormatinya, hal yang baik seperti ini rasanya perlu ditularkan kepada orang-orang modern masa kini. Tidak jarang kita melihat orang-orang modern saat ini bersikap “tidak wajar” terhadap yang lebih tua, bukan karena mereka kurang pendidikan, tetapi mungkin karena begitu lunturnya tradisi. Sering saya menemukan ornag-orang muda menitipkan orangtuanya di panti jompo tanpa memperdulikannya sama sekali, asalakan uangnya ditransfer ke sana sudah beres. Ingat saja, suatu hari kita akan mendapat giliran menjadi ornag tua. Anak-anak kita tidak buta melihat perbuatan kita yang semena-mena, justru ia bakal meneladani kita. Pada waktu itulah, menyesal sepertinya sudah terlambat.
Biarlah kita sebagai orang percaya mencoba untuk menerapkan hal yang berguna dari orang Tionghoa tradisi ini, dengan tidak mengesampingkan prinsip-prinsip Alkitab. Siapapun anda, hormatilah orang tua anda selagi kesempatannya masih ada, jika telah terlambat maka tiada artinya lagi. SEMOGA
No comments:
Post a Comment