Yesus Dipaku pada Kayu Salib
Ketika segala persiapan untuk penyaliban telah selesai, keempat prajurit pembantu pergi ke gua di mana mereka mengurung Tuhan kita. Mereka menyeret Yesus dengan sikap brutal seperti biasanya, khalayak ramai menonton sembari meneriakkan kata-kata cemooh, dan para prajurit Romawi melihat semuanya dengan sikap acuh tak acuh, tak memikirkan yang lain selain dari melaksanakan tugas semata. Ketika Yesus dibawa keluar kembali, para perempuan kudus menyerahkan sejumlah uang kepada seorang laki-laki, memohonnya agar memberikan uang kepada para prajurit pembantu berapa pun yang mereka kehendaki asalkan mereka mengijinkan Yesus meneguk anggur yang telah dipersiapkan Veronica; tetapi para algojo yang keji, bukannya memberikan anggur kepada Yesus, malahan mereka menegaknya sendiri. Para prajurit membawa dua tempayan bersama mereka, tempayan yang satu berisi cuka dan empedu, sedangkan yang lain berisi campuran yang tampaknya seperti anggur dicampur dengan rempah-rempah dan absinth; mereka menawarkan secawan dari tempayan terakhir kepada Tuhan kita, yang dicecap-Nya, tetapi tak mau diminumnya.
Ada delapanbelas prajurit pembantu di puncak Kalvari; enam yang mendera Yesus, empat yang menggiring-Nya ke Kalvari, dua yang memegangi tali-temali yang menahan salib, dan enam lainnya yang datang dengan tujuan menyalibkan Dia. Para prajurit pembantu itu adalah orang-orang asing yang diupah bangsa Yahudi atau bangsa Romawi; perawakan mereka pendek kekar, dengan wajah amat garang dan bengis, lebih menyerupai binatang-binatang buas daripada manusia. Mereka bergiliran minum dan melakukan persiapan untuk penyaliban.
Pemandangan ini terlebih lagi mengerikan bagiku dengan adanya penglihatan akan iblis-iblis, yang tak terlihat oleh yang lainnya. Aku melihat sejumlah besar roh-roh jahat dalam bentuk kodok, ular, naga bercakar tajam, dan serangga berbisa, yang menghasut orang-orang kejam ini untuk terlebih lagi bersikap keji; roh-roh jahat itu menjadikan langit tampak hitam kelam. Mereka merayap masuk ke dalam mulut dan juga ke dalam hati mereka yang hadir di sana, bertengger di atas pundak mereka, memenuhi benak mereka dengan bayangan-bayangan jahat, serta menyemangati mereka dalam mencemooh serta menghina Tuhan kita dengan kebrutalan yang terlebih lagi. Namun demikian, para malaikat yang menangis berdiri sekeliling Yesus; penglihatan akan airmata mereka memberiku cukup penghiburan, mereka disertai pula oleh malaikat-malaikat kecil kemuliaan, yang hanya kepalanya saja aku lihat. Juga ada malaikat-malaikat belas kasihan dan malaikat-malaikat penghiburan di antara mereka. Malaikat-malaikat penghiburan kerap kali menghampiri Bunda Maria dan orang-orang saleh lainnya yang berkumpul di sana, mereka membisikkan kata-kata penghiburan yang memampukan orang-orang saleh itu menghadapi segalanya dengan tegar dan tabah hati.
Para algojo segera melucuti Tuhan kita, mantol-Nya, ikat pinggang di mana tali-temali diikatkan, ikat pinggang-Nya sendiri; dan ketika mendapati bahwa tidaklah mungkin melepaskan pakaian wol, yang ditenun Bunda Yesus bagi Putranya, dari kepala Yesus oleh sebab mahkota duri yang tertancap di kepala-Nya; mereka merenggut dengan kasar mahkota yang paling menyengsarakan ini, dengan demikian merobek kembali setiap luka; mereka mencengkeram pakaian itu, mengoyakkannya tanpa iba sedikit pun di atas kepala-Nya yang penuh luka dan berdarah. Tuhan dan Juruselamat kita terkasih berdiri di hadapan para musuh-Nya yang bengis, ditelanjangi dari segala pakaian-Nya, kecuali penutup bahu pendek yang tergantung di pundak-Nya dan kain linen yang melilit pinggang-Nya. Kain bahu-Nya terbuat dari wol, wol itu tertanam dalam luka-luka-Nya, betapa Ia menderita rasa sakit luar biasa yang tak terlukiskan ketika mereka menarik kain itu dengan kasar. Ia menggigil bagaikan pohon aspen yang bergoyang di hadapan mereka, oleh sebab Yesus sama sekali lemah akibat sengsara dan kehilangan begitu banyak darah, hingga Ia tak mampu menyangga tubuh-Nya Sendiri lebih dari beberapa saat; sekujur tubuh-Nya penuh luka-luka menganga, bahu dan punggung-Nya terkoyak hingga ke tulang-belulangnya akibat penderaan keji yang Ia derita. Yesus nyaris jatuh ketika para algojo, yang khawatir kalau-kalau Ia akan segera mati, dan dengan demikian mereka akan kehilangan kesempatan untuk melampiaskan kesenangan biadab mereka dalam menyalibkan Dia, menggiring-Nya ke suatu batu besar dan mendudukkan-Nya dengan kasar di atasnya. Tetapi, baru saja Yesus duduk, mereka memperhebat sengsara-Nya dengan menancapkan kembali mahkota duri di atas kepala-Nya. Lalu mereka menawarkan cuka dan empedu, tetapi Yesus memalingkan wajah-Nya dalam kebisuan. Para algojo tidak membiarkan-Nya beristirahat lebih lama, melainkan memerintahkan-Nya untuk bangkit berdiri dan menempatkan diri di atas salib agar mereka dapat memakukan-Nya pada salib. Mereka mencengkeram tangan kanan-Nya, lalu meregangkannya ke lubang paku yang telah dipersiapkan, mengikatkannya erat-erat pada lengan salib menggunakan seutas tali. Seorang dari antara prajurit berlutut di atas dada-Nya yang kudus, prajurit kedua memegangi tangan-Nya agar lurus pada palang salib, prajurit ketiga mengambil sebuah paku panjang yang tebal, menekankannya pada telapak tangan yang mengagumkan itu, yang senantiasa terbuka untuk menyampaikan segala berkat dan kebajikan kepada orang-orang Yahudi yang tak tahu berterima kasih, dan dengan sebuah palu besi yang besar memalukan paku menembusi daging-Nya hingga tembus ke papan salib. Tuhan kita meneriakkan satu saja erangan, yang dalam dan tertahan, darah-Nya muncrat memerciki lengan para prajurit pembantu. Aku menghitung-hitung hantaman palu, tetapi dukacitaku yang hebat membuatku tak mampu mengingat lagi jumlahnya. Paku-paku itu sangat besar, ukuran kepalanya sebesar mata uang koin, dan tebalnya setebal ibu jari tangan; ujung-ujung paku menembusi hingga bagian belakang palang salib. Bunda Maria berdiri bagai patung; dari waktu ke waktu kalian dapat mendengar erangan-erangannya yang menyayat hati; ia tampak bagai nyaris pingsan karena dukacita yang dahsyat, sementara Magdalena bagai telah kehilangan akal. Ketika para algojo telah memakukan tangan kanan Tuhan kita, mereka mendapati bahwa tangan kiri-Nya tidak mencapai lubang paku yang telah mereka persiapkan, sebab itu mereka melilitkan tali-temali pada lengan kiri-Nya, sementara menginjak palang salib kuat-kuat, mereka menarik paksa tangan kiri-Nya sekencang mungkin hingga tangan itu mencapai tempat yang telah dipersiapkan. Perlakuan yang sungguh ngeri ini mengakibatkan Tuhan kita merasakan sakit yang tak terperi, dada-Nya turun-naik, kedua-kaki-Nya menekuk tegang. Lagi, mereka berlutut di atas dada-Nya, mengikatkan lengan-Nya pada lengan salib dan memakukan paku kedua ke tangan kiri-Nya; darah segar muncrat; suara erangan-Nya yang lemah sekali lagi terdengar sayup-sayup di antara suara dentaman palu, tapi tak suatu pun yang dapat menggerakkan para algojo yang keras hati ini. Kedua lengan Yesus, sebab diregangkan secara paksa seperti itu, tak lagi menempel pada lengan salib yang bentuknya curam; terdapat jarak yang lebar antara lengan dan ketiak-Nya. Setiap aniaya dan nista yang masih menimpa Tuhan kita mengakibatkan deraan hebat pada hati Bunda Maria; ia menjadi seputih mayat. Karena kaum Farisi masih terus berusaha menambah kepiluan hatinya dengan segala cercaan dan tindakan mereka, para murid menghantar Santa Perawan kepada sekelompok perempuan saleh yang berdiri agak sedikit jauh dari sana.
Para algojo telah memasang sepotong papan kayu pada bagian bawah badan salib di mana kaki Yesus hendak dipakukan, dengan demikian berat beban tubuh-Nya tidak akan bertumpu pada kedua tangan-Nya yang terkoyak, juga mencegah agar tulang-tulang kaki-Nya jangan sampai patah saat dipakukan ke palang salib. Sebuah lubang paku telah dibuat pada papan kayu ini sebagai tempat paku ketika paku dipalukan menembusi kaki-Nya, juga terdapat sebuah lekukan kecil bagi tumit-Nya. Hal ini dilakukan agar jangan luka-luka tangan-Nya terkoyak lebar oleh berat beban tubuh-Nya, hingga kematian datang sebelum Ia mengalami segala siksa dan aniaya yang mereka harapkan dapat mereka lihat terjadi pada-Nya. Sekujur tubuh Tuhan kita telah tertarik ke atas, menegang karena perlakuan keji para algojo dalam meregangkan paksa kedua tangan-Nya, kedua lutut Yesus tertekuk; sebab itu mereka meluruskannya dan mengikatkannya kuat-kuat pada palang salib dengan tali-temali. Begitu mendapati bahwa kaki-Nya tidak mencapai papan kayu yang telah dipersiapkan bagi tumpuan kakinya, mereka menjadi berang. Sebagian dari mereka mengusulkan agar dibuat lubang-lubang paku yang baru bagi paku-paku yang menembusi kedua tangan-Nya, sebab teramat sulit memindahkan papan kayu itu, tetapi sebagian yang lain tak hendak melakukannya, melainkan berteriak riuh-rendah, “Ia Sendiri tak akan meregangkan tubuh-Nya begitu rupa, tetapi kita akan membantu-Nya,” mereka mengucapkan kata-kata ini disertai sumpah-serapah dan kutuk yang paling ngeri. Setelah melilitkan tali-temali pada kaki kanan-Nya, mereka menariknya sekencang mungkin hingga kaki-Nya mencapai papan kayu, lalu mengikatkannya erat-erat. Yesus menderita sakit tak terperi yang tak dapat dilukiskan; kata-kata, “AllahKu, ya AllahKu,” meluncur dari bibir Yesus. Para algojo menambah sengsara-Nya dengan mengikatkan dada dan kedua lengan-Nya ke palang salib, khawatir kalau-kalau kedua tangan-Nya terobek parah karena paku. Mereka lalu menumpangkan kaki kiri-Nya ke atas kaki kanan-Nya, setelah terlebih dahulu melubangi kedua kaki Yesus dengan semacam alat tusuk, sebab kedua kaki-Nya tak dapat dipaku sekaligus bersama-sama. Selanjutnya mereka mengambil sebatang paku yang sangat panjang dan menembuskannya ke kedua kaki Yesus hingga ke palang kayu di bawahnya; tindakan ini mengakibatkan rasa sakit yang teramat luar biasa, teristimewa karena tubuh-Nya diregangkan paksa begitu rupa. Aku menghitung setidaknya ada tigapuluh enam hantaman palu. Sepanjang masa penyaliban, Tuhan kita tak henti-hentinya memanjatkan doa dan mengulang ayat-ayat dalam Mazmur, walau dari waktu ke waktu, erangan lemah terdengar akibat sengsara yang teramat dahsyat. Begitulah Ia berdoa sepanjang waktu sementara Ia memanggul salib-Nya, begitu pula Ia terus berdoa hingga Ia menyerahkan nyawa-Nya. Aku mendengar Yesus mengulang segala nubuat; aku mengulang setiap ayat yang diucapkan-Nya, dan sejak saat itu seringkali aku memberi perhatian pada ayat-ayat yang berbeda saat mendaraskan Mazmur, tetapi sekarang aku merasa telah kehabisan tenaga oleh sebab dukacita hingga aku sama sekali tak dapat mengingatnya.
Ketika penyaliban Yesus telah selesai, komandan prajurit Romawi memerintahkan agar prasasti Pilatus digantungkan di puncak salib. Kaum Farisi menjadi berang dan murka mereka semakin bertambah-tambah oleh olok-olok para prajurit Romawi, yang menunjuk-nunjuk pada Raja orang Yahudi yang Tersalib; sebab itu mereka bergegas kembali ke Yerusalem, bertekad untuk melakukan segala daya upaya guna membujuk gubernur agar mengijinkan mereka menggantinya dengan prasasti yang lain.
Kira-kira pukul duabelas lewat seperempat ketika Yesus disalibkan. Saat salib diangkat, di Bait Allah bergema bunyi sangkakala, yang senantiasa dikumandangkan guna memaklumkan kurban Anak Domba Paskah.
Salib Yesus Dipancangkan
Ketika para algojo telah selesai menyalibkan Tuhan kita, mereka melilitkan tali-temali ke badan salib, dan mengikatkan ujung-ujung tali ke suatu balok panjang yang dipancangkan kuat ke atas tanah tak jauh dari sana; dengan bantuan tali-temali ini mereka mengangkat salib. Sebagian dari mereka menahan salib, sementara yang lainnya mendorong kaki salib ke lubang yang telah dipersiapkan - salib yang berat masuk ke dalam lubang dengan suatu hentakan yang hebat - Yesus mengerang lemah, segala luka-luka-Nya terkoyak parah dengan cara yang paling ngeri, darah memancar lagi, tulang-tulang-Nya yang setengah terlepas dari engselnya saling bertumbukan satu dengan yang lainnya. Para prajurit pembantu menggeser-geser salib agar menancap kuat ke dalam lubang, dan terlebih lagi mereka mengakibatkan salib terguncang-guncang dengan memasang lima pancang sekelilingnya guna menahan salib.
Suatu pemandangan yang mengerikan, sekaligus mempesona, menyaksikan salib diangkat tinggi di atas lautan manusia yang berkerumun di sekelilingnya; bukan hanya para prajurit yang mencemooh, kaum Farisi yang puas, dan orang-orang Yahudi yang brutal saja yang ada di sana, melainkan juga orang-orang asing dari segala penjuru. Suara sorak dan teriak cemooh menggema saat mereka melihat salib diangkat tinggi-tinggi; setelah terayun-ayun sejenak di udara, salib jatuh dengan dentuman hebat ke dalam lubang yang telah dipersiapkan di atas bukit karang. Namun, pada saat yang sama, pernyataan kasih dan ungkapan belas kasihan menggema pula di udara; perlu kita katakan bahwa pernyataan-pernyataan ini, ungkapan-ungkapan ini, disampaikan oleh yang terkudus dari antara umat manusia - Santa Perawan Maria - juga Yohanes, para perempuan kudus, dan siapa saja yang berhati murni. Mereka membungkuk hormat seraya menyembah “Sabda yang menjadi daging,” yang dipakukan pada kayu salib; mereka mengedangkan tangan-tangan mereka, seolah rindu memberikan pertolongan kepada Yang Mahakudus dari Yang Kudus, yang mereka lihat tergantung di salib dan ada dalam kuasa para musuh yang murka. Tetapi, ketika suara khidmad dentuman salib yang jatuh ke dalam lubang di atas bukit karang terdengar, suatu keheningan yang senyap merayap, segenap hati diliputi perasaan takjub yang tak dapat diungkapkan - suatu perasaan yang belum pernah dialami sebelumnya, dan yang tak seorang pun dapat menerangkannya, bahkan kepada dirinya sendiri. Segenap penghuni neraka gemetar karena ngeri, dan melampiaskan angkara murka mereka dengan berusaha membangkitkan dengki serta kebrutalan yang terlebih lagi dalam diri para musuh Yesus. Jiwa-jiwa di limbo dipenuhi sukacita dan pengharapan, sebab suara dentuman itu merupakan pratanda kebahagiaan bagi mereka; pratanda akan munculnya Pembebas mereka. Demikianlah salib terberkati Tuhan kita dipancangkan untuk pertama kalinya di muka bumi; kita dapat memperbandingkannya dengan pohon kehidupan di Taman Firdaus; oleh sebab luka-luka Yesus bagaikan sumber-sumber mata air yang kudus, yang daripadanya mengalir empat mata air yang ditujukan baik untuk memurnikan dunia dari kutuk dosa maupun untuk memberinya kesuburan, agar menghasilkan buah keselamatan.
Puncak bukit di mana salib Yesus dipancangkan kira-kira dua kaki lebih tinggi dari daerah sekitarnya; kedua kaki Yesus cukup dekat dengan tanah sehingga para sahabat-Nya dapat menggapai serta menciumnya; wajah Yesus menghadap ke barat laut.
Kedua Penyamun Disalibkan
Selama penyaliban Yesus berlangsung, kedua penyamun dibiarkan terbaring di tanah agak jauh dari sana. Kedua tangan mereka diikatkan pada palang salib yang akan menjadi alat eksekusi mereka; beberapa prajurit berjaga di sekitarnya. Tuduhan yang telah terbukti atas mereka adalah pembunuhan terhadap seorang perempuan Yahudi yang, bersama anak-anaknya, sedang dalam perjalanan dari Yerusalem ke Yoppa. Kedua penyamun ditangkap dalam penyamaran mereka sebagai pedagang kaya, di sebuah benteng di mana Pilatus sesekali tinggal apabila sedang melatih pasukannya. Keduanya telah lama dipenjarakan sebelum dihadapkan ke pengadilan. Penyamun yang berada di sebelah kiri jauh lebih tua dari yang satunya; seorang penjahat kawakan, yang merusak yang muda. Mereka biasa dikenal sebagai Dismas dan Gesmas, dan karena aku lupa nama asli mereka, maka aku akan menyebut mereka dengan nama ini, yang baik disebut Dismas dan yang jahat disebut Gesmas. Keduanya termasuk dalam gerombolan penyamun yang bersarang di perbatasan-perbatasan Mesir. Di salah satu gua yang dihuni oleh kawanan penyamun inilah Keluarga Kudus tinggal saat melarikan diri ke Mesir, pada waktu pembunuhan Kanak-kanak Suci. Anak malang yang terjangkit kusta, yang serta-merta sembuh saat dibasuh dalam air bekas mandi bayi Yesus, tak lain adalah Dismas; kemurahan hati ibunya dalam menerima serta memberikan tumpangan kepada Keluarga Kudus telah diganjari Tuhan dengan kesembuhan puteranya; pembasuhan jasmani ini merupakan pratanda akan pembasuhan rohani yang akan terjadi di kemudian hari dalam jiwa Dismas di Bukit Kalvari, melalui Darah Mahasuci yang saat itu dicurahkan dari salib demi penebusan umat manusia. Dismas sama sekali tak tahu menahu akan Yesus, tetapi karena ia tidak keras hati, kesabaran Tuhan kita yang luar biasa telah menyentuh hatinya secara mendalam. Ketika para algojo telah selesai memancangkan salib Yesus, mereka memerintahkan kedua penyamun untuk segera bangkit berdiri. Para algojo melepaskan belenggu kedua penyamun agar dapat menyalibkan mereka sesegera mungkin, sebab langit mulai berawan dan menampakkan tanda-tanda akan datangnya badai. Setelah memberikan rempah-rempah dan cuka kepada mereka, para algojo menanggalkan pakaian kumal kedua penyamun, melilitkan tali-temali sekeliling tangan mereka, dan dengan bantuan tangga-tangga kecil menyeret mereka ke tempat penyaliban. Para algojo lalu mengikatkan lengan kedua penyamun ke palang salib dengan tali-temali yang terbuat dari kulit kayu, mengikat pergelangan tangan, siku, lutut dan juga kaki mereka, menarik tali-temali itu kencang-kencang hingga persendian mereka patah dan darah muncrat ke luar. Kedua penyamun mengerang sekuat-kuatnya. Sementara mereka mendekati Yesus, penyamun yang baik berseru, “Segala siksa ini sungguh mengerikan, tetapi andai mereka memperlakukan kita seperti mereka memperlakukan Orang Galilea yang malang itu, pastilah kita telah lama mati.”
Para algojo membagi-bagi pakaian Yesus agar mereka dapat membuang undi atasnya. Mantol Yesus, yang sempit di bagian atas dan sangat lebar di bagian bawah, yang bertali-tali di dadanya, dengan demikian membentuk semacam kantong antara tali-tali itu dengan mantolnya; mereka cabut tali-talinya, mereka putus menjadi tali-tali lepas, lalu dibagi-bagikan. Mereka melakukan hal yang sama dengan jubah putih-Nya yang panjang, ikat pinggang, penutup bahu, dan baju dalam-Nya yang sepenuhnya basah oleh Darah Mahasuci. Karena tak dicapai kesepakatan atas siapa yang berhak memiliki jubah tak berjahit yang ditenun oleh BundaNya, yang tak dapat disobek ataupun dibagi, mereka mengeluarkan semacam papan catur yang ditandai dengan figur-figur dan siap melemparkan undi ketika seorang pesuruh, yang diutus oleh Nikodemus dan Yusuf dari Arimatea, menyampaikan bahwa ada orang-orang yang bersedia membeli segala pakaian Yesus; sebab itu mereka mengumpulkannya dan menjualnya dalam satu buntalan. Demikianlah orang-orang Kristen mendapatkan reliqui-reliqui yang amat berharga ini.
Yesus Tergantung di Salib
di antara Dua Penyamun
Hentakan dahsyat yang diakibatkan oleh jatuhnya salib ke dalam lubang yang telah dipersiapkan menyebabkan duri-duri tajam mahkota duri, yang masih ada di atas kepala Juruselamat kita terkasih, semakin dalam menembusi kepala-Nya yang kudus, darah mengucur dan mengalir lagi, baik dari kepala maupun dari kedua kaki dan tangan-Nya. Para prajurit lalu menyandarkan tangga-tangga ke sisi salib, memanjatnya dan melepaskan tali-temali yang tadinya mereka gunakan untuk mengikatkan Tuhan kita ke salib sebelum salib dipancangkan, sebab khawatir kalau-kalau hentakan hebat mengoyak luka-luka di kedua tangan dan kaki Yesus demikian parah, hingga paku-paku tak lagi dapat menahan tubuh-Nya. Darah-Nya, dalam tingkat tertentu, tak dapat mengalir, tertahan oleh posisi-Nya yang horisontal dan oleh lilitan tali-temali, tetapi, begitu tali-temali dilepaskan, darah memancar dan mulai mengalir normal kembali, mengakibatkan rasa sakit luar biasa di segenap luka-luka-Nya yang tak terhitung banyaknya, hingga Yesus menundukkan kepala dan tetap seolah mati lebih dari tujuh menit lamanya. Jeda sejenak; para algojo sibuk membagi-bagi pakaian Yesus; suara sangkakala di Bait Allah tak lagi bergema; dan segenap aktor dalam tragedi yang mengerikan ini tampaknya telah kehabisan tenaga, sebagian karena dukacita, sebagian lainnya karena daya upaya yang telah mereka lakukan demi tercapainya tujuan jahat mereka, dan karena kegembiraan yang sekarang mereka rasakan sebab pada akhirnya berhasil membinasakan Dia kepada siapa mereka memendam iri dan dengki begitu lama. Dengan perasaan bercampur-aduk antara ngeri dan belas kasihan, aku melayangkan pandanganku kepada Yesus - Yesus Penebus-ku - Penebus Dunia. Aku melihat-Nya diam tak bergerak, seolah tak bernyawa. Aku merasa seakan-akan diriku sendiri akan segera mati; hatiku dikuasai sepenuhnya oleh dukacita, kasih dan ngeri yang berbaur menjadi satu; pikiranku tak keruan, kedua tangan dan kakiku terbakar demam hebat; setiap denyut, setiap nadi, setiap lengan dan tungkai tersiksa oleh rasa sakit yang tak terkatakan; segalanya kelihatan kabur, terkecuali Mempelai-ku terkasih yang tergantung di salib. Aku menatap dalam-dalam pada wajah Yesus yang telah sama sekali rusak, kepala-Nya ditudungi mahkota duri yang memuakkan itu, yang menyebabkan Yesus tak dapat mengangkat kepala-Nya barang sekejap tanpa merasakan sakit yang tak terperi, bibir-Nya kering kerontang dan setengah terbuka karena kehabisan tenaga, rambut dan jenggot-Nya lengket oleh darah. Dada-Nya terkoyak oleh bilur-bilur dan luka-luka, kedua siku, pergelangan tangan dan pundak-Nya bengkak parah, tulang-tulangnya nyaris terlepas dari persendian; darah terus-menerus menetes dari luka-luka menganga di kedua tangan-Nya, daging-Nya tercabik-cabik begitu rupa hingga kalian nyaris dapat menghitung tulang-tulang rusuk-Nya. Kedua kaki dan juga kedua lengan Yesus diregangkan hingga nyaris terlepas, daging dan segala urat-urat sepenuhnya kelihatan hingga setiap tulang-belulang pun tampak; sekujur tubuh-Nya dipenuhi luka-luka lebam berwarna hitam, biru dan juga luka-luka berdarah. Darah yang memancar dari luka-luka-Nya pada mulanya berwarna merah, namun lambat-laun menjadi pucat dan berair, seluruh tubuh Yesus nampak bagaikan mayat yang siap dikebumikan. Namun demikian, kendati luka-luka ngeri membalut sekujur tubuh-Nya, kendati direndahkan hingga begitu hina dina, di sana masih terpancar tatapan ilahi yang tak terlukiskan dan kebajikan yang pernah meliputi hati orang banyak dengan perasaan takjub.
Warna kulit Tuhan kita putih bersih, seperti Bunda Maria, agak sedikit kemerah-merahan; tetapi perjalanan-Nya selama tiga tahun belakangan di udara terbuka telah menjadikannya berwarna cokelat. Dadanya bidang, tetapi tidak berbulu seperti St Yohanes Pembaptis; bahunya lebar, kedua tangan dan kaki-Nya berotot; lutut-Nya kuat dan keras, seperti yang biasa dimiliki oleh mereka yang banyak berjalan atau berlutut, kedua tungkai kaki-Nya panjang dengan otot-otot yang sangat kuat; bentuk kaki-Nya indah, juga bentuk tangan-Nya, jari-jemari Tuhan kita panjang dan lentik, dan meskipun tidak lembut seperti jemari wanita, pun juga tidak serupa jemari tangan lelaki yang biasa bekerja keras. Leher Tuhan kita jenjang, dengan kepala yang bentuknya bagus serta serasi; kening-Nya lebar dan tinggi; wajah-Nya oval; rambut-Nya, yang jauh dari lebat, berwarna coklat keemasan, dengan belahan di tengah dan jatuh tergerai di pundak-Nya; jenggot-Nya tidak panjang, tetapi lancip dan terbelah di dagu. Saat aku memandangi Yesus di atas salib, tampak rambut-Nya nyaris tercabut semuanya, yang masih tersisa kusut masai dan lengket oleh darah; tubuh-Nya merupakan suatu luka yang besar, dan setiap tungkai dan lengan tampak seolah terlepas.
Salib kedua penyamun ditempatkan satu di sebelah kanan dan yang lain di sebelah kiri salib Yesus; terdapat ruang yang cukup bagi seorang penunggang kuda untuk lewat di antara mereka. Keadaan kedua penyamun di atas salib sungguh mengenaskan; mereka menanggung sakit yang tak terperi, seorang yang di sebelah kiri Yesus tak henti-hentinya melontarkan kutuk dan sumpah serapah. Tali-temali yang membelenggu mereka diikatkan sangat kencang, hingga mengakibatkan rasa sakit yang luar biasa; rona wajah mereka biru pucat, mata mereka merah melotot seolah hendak keluar dari tempatnya. Salib kedua penyamun jauh lebih pendek dari salib Tuhan kita.
Perkataan Pertama Yesus dari atas Salib
Segera setelah para algojo menyalibkan kedua penyamun dan membagi-bagikan pakaian Yesus di antara mereka, mereka membereskan peralatan, melontarkan beberapa patah kata penghinaan kepada Tuhan kita, lalu pergi. Juga, kaum Farisi dengan menunggang kuda menghampiri Yesus, memandang sinis kepada-Nya, melontarkan beberapa patah kata cemooh, lalu pergi meninggalkan tempat itu. Para prajurit Romawi, berjumlah seratus orang yang disiagakan sekeliling Kalvari, berbaris pergi; posisi mereka segera diambil alih oleh limapuluh prajurit lain yang dikomandani oleh Abenadar, seorang keturunan Arab, yang di kemudian hari setelah dibaptis mengambil nama Ctésiphon; wakilnya adalah Cassius, yang setelah menjadi seorang Kristen dikenal sebagai Longinus: Pilatus kerap kali menugasinya sebagai utusan. Duabelas orang Farisi, duabelas orang Saduki, banyak ahli Taurat dan beberapa tua-tua, dengan disertai oleh orang-orang Yahudi yang berusaha keras membujuk Pilatus agar mengganti prasasti di Salib Yesus, lalu muncul. Mereka amat berang sebab Gubernur Romawi telah menolak mereka mentah-mentah. Dengan menunggang kuda, mereka mengitari puncak Kalvari, menghalau Santa Perawan, yang segera dihantar oleh St Yohanes kepada perempuan-perempuan kudus. Ketika lewat di depan Salib Yesus, mereka menggeleng-gelengkan kepala mengejek Yesus, seraya berseru, “Hai Engkau yang mau merubuhkan Bait Suci dan mau membangunnya kembali dalam tiga hari, selamatkanlah diri-Mu, turunlah dari salib! Baiklah Mesias, Raja Israel itu, turun dari salib, supaya kita melihat dan percaya.” Juga, para prajurit mengolok-olok Dia.
Rona wajah maupun sekujur tubuh Yesus menjadi semakin pucat, tampaknya Ia nyaris tak sadarkan diri. Gesmas (penyamun yang jahat) berseru, “Setan yang merasuki Dia hendak meninggalkan-Nya.” Seorang prajurit lalu mengambil bunga karang, mencelupkannya ke dalam anggur asam, mencucukkannya pada sebatang buluh, lalu mengunjukkannya kepada Yesus, yang tampaknya mencecapnya. “Jika Engkau adalah raja orang Yahudi,” kata prajurit itu, “selamatkanlah Diri-Mu! Turunlah dari salib.” Peristiwa-peristiwa ini terjadi saat pasukan prajurit yang pertama dibubarkan oleh Abenadar. Yesus mengangkat sedikit kepala-Nya dan berkata, “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” Gesmas berseru, “Bukankah Engkau adalah Kristus? Selamatkanlah diri-Mu dan kami!” Dismas (penyamun yang baik) diam membisu, tetapi ia tersentuh begitu dalam oleh doa Yesus bagi para musuh-Nya. Ketika Bunda Maria mendengar suara Putranya, ia tak dapat menahan diri dan menghambur lari mendekati salib, diikuti oleh Yohanes, Salome dan Maria Kleopas. Abenadar, kepala pasukan yang baik hati itu, tidak menghalangi mereka. Doa-doa Yesus mendatangkan rahmat yang berdaya kuasa bagi penyamun yang baik; tiba-tiba ia teringat bahwa Yesus dan Bunda Maria yang telah menyembuhkannya dari kusta semasa ia kanak-kanak; ia pun berseru dengan suara yang jelas dan lantang, “Bagaimana mungkin engkau menghina Dia sementara Ia berdoa bagimu? Ia begitu tenang dan menanggung segala penghinaanmu dengan penuh kesabaran; sungguh Ia seorang nabi - Dialah Raja kita - Dialah Putra Allah.” Teguran sekonyong-konyong yang datang dari bibir seorang penjahat hina yang sedang menanti ajal di salib ini menyebabkan kegemparan hebat di antara mereka yang hadir; mereka memungut batu-batu dan bermaksud melemparkannya kepada si penyamun; tetapi kepala pasukan Abenadar melarang.
Santa Perawan mendapat banyak penghiburan serta diperkuat oleh doa Yesus. Dismas berkata kepada Gesmas, yang masih terus menghujat Yesus, “Tidakkah engkau takut, juga tidak kepada Allah, sedang engkau menerima hukuman yang sama? Kita memang selayaknya dihukum, sebab kita menerima balasan yang setimpal dengan perbuatan kita, tetapi orang ini tidak berbuat sesuatu yang salah. Ingatlah bahwa engkau sekarang berada di ujung maut, sebab itu bertobatlah.” Dismas beroleh pencerahan dan amat tersentuh hatinya; ia mengakukan segala dosanya kepada Yesus dan berkata, “Tuhan, jika Engkau menghukum aku, Engkau akan melakukannya dengan adil.” Dan Yesus menjawab, “Engkau akan beroleh belas kasihan-Ku.” Dismas, yang diliputi tobat sempurna, seketika itu juga memanjatkan syukur kepada Allah atas rahmat luar biasa yang boleh ia terima, ia menyesali segala dosa-dosanya di masa lampau. Segala peristiwa ini terjadi antara pukul duabelas, setengah jam sesudah penyaliban. Suatu perubahan yang begitu drastis telah terjadi di hadapan semesta saat itu hingga mencengangkan mereka yang menyaksikannya dan meliputi benak mereka dengan perasaan takjub sekaligus ngeri.
Gerhana Matahari ~ Perkataan Kedua dan Ketiga Yesus dari atas Salib
Rintik hujan es turun sekitar pukul sepuluh pagi - ketika Pilatus memaklumkan hukuman mati - setelah itu cuaca cerah kembali hingga menjelang pukul duabelas, ketika kabut tebal kemerahan mulai menyelimuti matahari. Menjelang pukul enam, menurut cara perhitungan orang Yahudi, matahari tiba-tiba menjadi gelap. Diperlihatkan kepadaku penyebab sesungguhnya dari fenomena yang mengagumkan ini; sungguh sayang sebagian terlupakan olehku, dan apa yang masih aku ingat, aku tak dapat menemukan kata-kata yang tepat untuk mengungkapkannya; tetapi aku diangkat dari bumi dan melihat bintang-bintang dan planet-planet bergerak di luar jalur edar mereka. Aku melihat bulan bagaikan sebuah bola api yang sangat besar bergulung-gulung seolah terbang dari bumi. Tiba-tiba aku dibawa kembali ke Yerusalem, dan aku melihat bulan muncul kembali di balik Bukit Zaitun, tampak pucat dan penuh, bergerak cepat menuju matahari yang suram dan diselimuti kabut. Di sebelah timur matahari, aku melihat sebentuk benda gelap yang besar menyerupai bukit, dan yang segera menutupi matahari seluruhnya. Bagian tengah benda itu berwarna kuning tua dan di sekelilingnya terdapat suatu lingkaran merah seperti cincin api. Langit menjadi gelap dan bintang-bintang tampak memancarkan sinar merah menyeramkan. Baik manusia maupun binatang dicekam kengerian; para musuh Yesus berhenti mencerca-Nya, sementara kaum Farisi berusaha memberikan penjelasan-penjelasan filosofis atas apa yang terjadi, namun usaha mereka sia-sia belaka dan berakhir dengan kebisuan. Banyak yang diliputi rasa sesal, mereka menepuk-nepuk dada mereka seraya berseru, “Biarlah darah-Nya menimpa para pembunuh-Nya!” Sejumlah yang lain, entah berada dekat atau pun jauh dari Salib, jatuh berlutut dan mohon pengampunan Yesus. Di tengah sengsara-Nya, Yesus mengarahkan pandangan penuh belas kasih kepada mereka. Tetapi, kegelapan semakin pekat dan setiap orang, terkecuali Bunda Maria dan para sahabat Yesus yang paling setia, meninggalkan Salib. Dismas lalu menengadahkan kepalanya, dengan segala kerendahan hati, ia berkata penuh harap kepada Yesus, “Tuhan, ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai Raja.” Dan Yesus menjawab, “Amin, Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus.” Magdalena, Maria Kleopas, dan Yohanes berdiri dekat Salib Tuhan kita dan menatap-Nya, sementara Santa Perawan, dikuasai kasih sayang keibuan yang terdalam, mohon kepada Putranya agar ia diperkenankan mati bersama-Nya. Tetapi Yesus memandang pada BundaNya dengan tatapan kelembutan yang tak terlukiskan, lalu mengarahkan pandangan-Nya kepada Yohanes dan berkata, “Perempuan, inilah anakmu.” Selanjutnya Yesus berkata kepada Yohanes, “Inilah bundamu.” Yohanes menatap Penebus-nya yang berada di ambang maut, lalu menyalami bunda yang terkasih (yang sejak saat itu dianggapnya sebagai bundanya sendiri) dengan sikap amat hormat. Santa Perawan dikuasai kesedihan dahsyat oleh karena perkataan Yesus ini hingga ia nyaris tak sadarkan diri dan dipapah pergi agak menjauh dari Salib oleh para perempuan kudus.
Aku tidak tahu apakah Yesus sungguh-sungguh mengucapkan kata-kata ini, tetapi aku merasa dalam batinku bahwa Yesus memberikan Bunda Maria kepada Yohanes sebagai bunda, dan Yohanes kepada Bunda Maria sebagai putera. Dalam penglihatan-penglihatan serupa, orang acapkali memahami hal-hal yang tidak tertulis, kata-kata hanya mampu mengungkapkan sebagian saja dari hal-hal itu, meskipun kepada individu kepada siapa penglihatan dianugerahkan, hal-hal tersebut begitu jelas dan gamblang hingga penjelasan tak diperlukan lagi. Oleh sebab itu, sama sekali tidak mengherankanku bahwa Yesus menyebut Santa Perawan sebagai “Perempuan” dan bukannya “Bunda.” Aku merasa bahwa Yesus bermaksud menunjukkan bahwa Santa Perawan adalah perempuan yang dibicarakan dalam Kitab Suci yang akan meremukkan kepala ular, dan tepat saat itulah janji digenapi dengan wafat Putranya. Aku tahu bahwa Yesus, dengan memberikan Bunda Maria sebagai bunda kepada Yohanes, juga memberikannya sebagai bunda kepada segenap umat beriman yang percaya kepada-Nya, yang menjadi anak-anak Allah, yang tidak dilahirkan dari daging dan darah, atau dari keinginan seorang laki-laki, melainkan atas kehendak Allah. Pun tidak mengejutkanku bahwa yang paling murni, yang paling bersahaja, dan yang paling taat di antara segala perempuan, yang, ketika disalami oleh malaikat sebagai yang “penuh rahmat” segera menjawab, “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu,” dan yang dalam rahimnya yang kudus Sabda menjadi daging - dia, yang ketika disampaikan oleh Putranya yang di ambang ajal bahwa ia akan menjadi bunda rohani bagi anak yang lain, mengulang kata-kata yang sama dengan ketaatan penuh kerendahan hati, dan segera mengangkat sebagai anaknya, segenap anak-anak Allah, saudara-saudara Yesus Kristus. Hal-hal seperti ini jauh lebih mudah dipahami dalam terang rahmat Tuhan daripada diungkapkan dengan kata-kata. Aku ingat, suatu ketika Mempelai Surgawi-ku mengatakan kepadaku, “Segala sesuatu terukir dalam hati putera-puteri Gereja yang memiliki iman, harapan dan kasih.”
Penduduk Yerusalem Dicekam Ketakutan ~ Perkataan Keempat Yesus dari atas Salib
Kira-kira pukul setengah dua siang ketika aku dibawa ke Yerusalem untuk melihat apa yang terjadi di sana. Penduduk Yerusalem sepenuhnya dicekam ketakutan dan kegelisahan; jalanan tampak gelap dan suram, sebagian orang meraba-raba menyusuri jalan, sementara yang lainnya bersimpuh di tanah dengan kepala terselubung, menepuk-nepuk dada mereka, atau pergi ke atas atap rumah, memandang langit dan meledak dalam kesedihan yang pahit. Bahkan binatang-binatang menyuarakan jeritan duka dan menyembunyikan diri; burung-burung terbang rendah dan jatuh ke tanah. Aku melihat Pilatus bertukar pikiran dengan Herodes mengenai situasi gawat ini: mereka berdua amat cemas sementara menatap keadaan langit dari beranda di mana Herodes berdiri ketika ia menyerahkan Yesus untuk diperlakukan semaunya oleh massa yang mengamuk. “Peristiwa ini bukanlah gejala alam biasa,” begitu kata mereka berdua, “pastilah hal ini terjadi akibat murka para dewa yang tidak senang atas kekejian yang dilakukan terhadap Yesus dari Nazaret.” Pilatus dan Herodes, dengan dikelilingi para pengawal, lalu mengarahkan langkah-langkah mereka yang tergesa dan gemetar melintasi forum menuju istana Herodes. Pilatus memalingkan mukanya saat ia melewati Gabata, tempat di mana ia memaklumkan hukuman mati kepada Yesus, lapangan itu nyaris kosong; segelintir orang terlihat bergegas memasuki rumah mereka, sebagian kecil lainnya berlarian dan menangis, sementara dua atau tiga kelompok kecil terlihat di kejauhan. Pilatus memanggil para tua-tua dan menanyakan pendapat mereka mengenai kegelapan misterius yang mungkin merupakan suatu pratanda. Pilatus mengatakan bahwa ia sendiri menganggap fenomena ini sebagai bukti mengerikan murka Allah atas penyaliban Orang Galilea itu, yang hampir dapat dipastikan adalah Nabi dan Raja mereka. Ia menambahkan bahwa ia sama sekali tak bertanggung-jawab atas apa yang terjadi, sebab ia telah cuci tangan atas segala perkara tersebut, dan karenanya, tak bersalah. Para tua-tua tetap keras kepala seperti yang sudah-sudah, dan menjawab dengan nada mendongkol bahwa tak ada suatu pun yang tidak biasa dalam gejala alam itu, bahwa para filsuf akan dengan mudah menerangkannya, dan bahwa mereka tidak menyesal atas suatu pun yang telah mereka lakukan. Namun demikian, banyak orang dipertobatkan, di antara mereka termasuk para prajurit yang jatuh ke tanah mendengar perkataan Yesus saat mereka ditugaskan untuk menangkap-Nya di Taman Zaitun.
Orang banyak berkerumun di depan istana Pilatus, bukannya teriakan “Salibkan Dia, salibkan Dia!” seperti yang mereka teriakkan pagi itu, melainkan kalian dapat mendengar teriakan “Enyahlah hakim keji!” “Biarlah darah Orang Benar itu menimpa para pembunuh-Nya!” Pilatus semakin cemas, ia minta tambahan pasukan pengawal dan berusaha melimpahkan segala kesalahan kepada orang-orang Yahudi. Lagi, ia memaklumkan bahwa kejahatan itu bukan tanggung-jawabnya; bahwa ia tidak ada urusan dengan Yesus, yang telah mereka jatuhi hukuman mati secara tidak adil, dan yang adalah raja mereka, nabi mereka, Yang Kudus; bahwa mereka sendirilah yang bersalah, seperti nyata kepada semua orang bahwa ia menjatuhkan hukuman mati atas Yesus semata-mata karena terpaksa.
Bait Allah dipadati orang-orang Yahudi yang hendak mengorbankan Anak Domba Paskah; tetapi karena kegelapan semakin pekat hingga tak mungkin membedakan wajah seorang dari yang lain, mereka dicekam rasa takut, ngeri dan gentar, yang mereka luapkan lewat seruan-seruan dan ratap duka. Para imam besar berusaha menenangkan suasana. Lampu-lampu dinyalakan; tetapi kekacauan semakin meningkat; Hanas tampak sama sekali lumpuh karena ngeri. Aku melihatnya berusaha bersembunyi, pertama di satu tempat, lalu di tempat lainnya. Ketika aku meninggalkan Bait Allah dan berjalan menyusuri jalan, aku melihat bahwa, walau tak ada hembusan angin sedikit pun, namun pintu-pintu dan jendela-jendela rumah bergoncang-goncang seolah diterpa badai; kegelapan semakin lama semakin kelam.
Kengerian mencekam akibat kegelapan sekonyong-konyong di Bukit Kalvari sungguh dahsyat. Ketika kegelapan mulai berlangsung, hiruk-pikuk suara dentaman palu, seruan massa, erangan kedua penyamun yang diikatkan pada salib, kata-kata cemooh yang dilontarkan kaum Farisi, derap langkah para prajurit, dan teriakan mabuk para algojo, sepenuhnya menyita perhatian setiap orang, hingga perubahan gejala alam yang terjadi secara berangsur-angsur tidak mereka perhatikan. Tetapi sementara kegelapan semakin pekat, segala suara berhenti, segala suara membisu, rasa sesal dan ngeri meliputi setiap hati, mereka yang hadir undur diri satu per satu dari hadapan Salib. Saat itulah Yesus memberikan BundaNya kepada St Yohanes, dan Santa Perawan yang dikuasai dukacita hebat, dipapah pergi sedikit menjauh. Sementara kegelapan semakin bertambah dan bertambah kelam, keheningan semakin senyap; setiap orang tampak didera kengerian; sebagian menatap ke langit, sementara yang lainnya, diliputi rasa sesal, memandang kepada Salib, menebah dada mereka dan dipertobatkan. Meski pada kenyataannya kaum Farisi sama gelisahnya seperti orang-orang lain, namun pada awalnya mereka berpura-pura tampil berani dan memaklumkan bahwa mereka melihat tidak ada suatu pun yang aneh dalam peristiwa-peristiwa ini; tetapi pada akhirnya bahkan mereka sendiri pun ragu, lalu diam membisu. Bola matahari berwarna kuning tua, lebih menyerupai sebuah bukit apabila dilihat dengan sinar rembulan, suatu cincin yang terang menyala mengelilinginya. Bintang-bintang bermunculan, namun sinar yang mereka pancarkan merah menyeramkan. Burung-burung ketakutan hingga berjatuhan ke tanah; binatang-binatang buas gemetar dan melolong; kuda-kuda dan keledai-keledai kaum Farisi jalan berhimpitan sedekat mungkin satu sama lain, kepala mereka terkulai di antara kaki-kaki mereka. Kabut tebal menyelimuti segala yang ada.
Keheningan meraja di sekeliling Salib. Yesus tergantung di atas salib seorang diri; ditinggalkan oleh semua, - baik para rasul, para murid, para sahabat, bahkan BundaNya dibawa pergi dari sisi-Nya; tak seorang pun di antara ribuan orang, kepada siapa Ia mencurahkan kebajikan-kebajikan, ada di dekat-Nya untuk meringankan barang sedikit saja sengsara-Nya yang teramat pahit, - jiwa-Nya diliputi perasaan dukacita dan kepahitan yang tak terkatakan - bagi Yesus segalanya tampak gelap, suram, dan mengenaskan. Kegelapan yang berkuasa di sekelilingnya melambangkan apa yang meliputi batin-Nya. Namun demikian, Yesus berpaling kepada Bapa SurgawiNya, memanjatkan doa bagi para musuh-Nya, Ia mempersembahkan piala sengsara-Nya demi penebusan mereka. Yesus tak kunjung henti berdoa seperti yang telah Ia lakukan sepanjang sengsara-Nya, dan mengulang ayat-ayat Mazmur yang merupakan nubuat yang akan memperoleh kegenapannya dalam DiriNya. Aku melihat para malaikat berdiri sekelilingnya. Lagi, aku memandang Yesus - Mempelai-ku terkasih - di atas Salib-Nya, menderita sengsara dan bergulat dengan maut, namun masih pula didera kesepian yang mencekam. Pada saat itu Yesus menderita sengsara yang tak dapat digambarkan oleh pena yang fana, - Ia menderita sengsara seperti yang akan meliputi manusia fana yang lemah dan malang, jika manusia itu dijauhkan sama sekali dari segala penghiburan, baik penghiburan ilahi maupun manusiawi, dan kemudian diharuskan melintasi padang gurun badai pencobaan, tanpa daya, tanpa pertolongan, ataupun penerangan, melainkan hanya ditopang oleh iman, harapan dan kasih semata.
Sengsara Yesus sungguh tak terlukiskan; tetapi dari sengsara yang diderita-Nya itulah Yesus mendapatkan bagi kita segala rahmat yang dibutuhkan untuk melawan pencobaan-pencobaan keputusasaan yang akan menyerang kita di saat ajal - saat menegangkan ketika kita merasa bahwa kita akan segera meninggalkan semua yang kita kasihi di bawah sini. Ketika benak kita, yang dilemahkan penyakit, telah kehilangan akal sehatnya, dan bahkan kehilangan pengharapan akan belas kasihan dan pengampunan; benak kita seolah diselubungi kabut dan ketidakpastian, - itulah saatnya kita harus terbang kepada Yesus, mempersatukan perasaan kesendirian dan kesedihan kita dengan perasaan ditinggalkan dan ditelantarkan yang diderita Yesus di atas Salib, dan yakinlah bahwa kita akan mendapatkan kemenangan jaya atas para musuh neraka kita. Yesus lalu mempersempahkan kepada BapaNya yang Kekal, segala kemiskinan, segala perasaan ditelantarkan, segala karya, dan di atas semuanya, segala sengsara dan derita pahit yang diakibatkan oleh sikap tak tahu terima kasih kita hingga Ia harus wafat demi dosa-dosa dan kelemahan-kelemahan kita; sebab itu, tak seorang pun, yang dipersatukan dengan Yesus dalam pelukan Gereja-Nya pantas berputus asa di saat mengerikan yang mendahului kepergiannya dari dunia ini, bahkan jika ia dijauhkan dari segala penerangan dan penghiburan, haruslah ia ingat bahwa seorang Kristen tidak lagi harus memasuki padang gurun gelap ini seorang diri dan tanpa perlindungan, sebab Yesus telah mencampakkan baik perasaan ditinggalkan secara lahir maupun batin di atas Salib ke padang gurun kesepian ini, dengan demikian seorang Kristen tidak akan ditinggalkan sendiri dalam bergumul dengan kematian, ataupun meninggalkan dunia ini dengan menderita sengsara ditinggalkan secara rohani dan dijauhkan dari penghiburan surgawi. Oleh sebab itu, segala kecemasan akan kesepian dan keputusasaan yang menyertai kematian hendaknya dihalau jauh; sebab Yesus, yang adalah Terang sejati, Jalan, Kebenaran dan Hidup, telah mendahului kita melewati jalan yang gelap itu, telah menyelimutinya dengan berkat-berkat dan rahmat, serta telah menegakkan Salib di atasnya, satu tatapan pada Salib akan melenyapkan segala ketakutan kita. Kemudian Yesus (jika kita boleh mengatakannya demikian) menyatakan wasiat-Nya yang terakhir di hadapan BapaNya, dan mewariskan jasa-jasa Wafat dan SengsaraNya kepada Gereja dan kepada orang-orang berdosa. Tak satu jiwa berdosa pun dilupakan; Yesus memikirkan masing-masing dan setiap jiwa; pula Ia berdoa, bahkan bagi para penganut bidaah-bidaah yang berusaha membuktikan bahwa, karena Ia adalah Tuhan, Yesus tidak menderita sengsara sebagaimana manusia akan menderita apabila mengalami hal yang sama. Erangan yang Ia biarkan meluncur dari bibir-Nya di puncak sengsara-Nya dimaksudkan bukan hanya untuk menunjukkan sengsara dahsyat yang Ia derita, melainkan juga untuk mendorong segenap jiwa-jiwa menderita yang mengenal Allah sebagai Bapa, agar menempatkan segala penderitaan mereka dengan kepercayaan seorang anak di kaki Bapa.
Menjelang pukul tiga sore ketika Yesus berseru dengan suara nyaring, “Eloi, Eloi, lama sabakhtani?” “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Seruan Tuhan kita ini memecah keheningan yang senyap yang telah berlangsung demikian lama; kaum Farisi berpaling kepada-Nya, seorang dari antara mereka berkata, “Lihat, Ia memanggil Elia,” dan yang lain, “Baiklah kita tunggu dan melihat apakah Elia datang untuk menurunkan Dia.” Ketika Bunda Maria mendengar suara Putra Ilahinya, ia tak kuasa menahan diri lebih lama lagi, ia menghambur lari kembali ke kaki Salib, diikuti oleh Yohanes, Maria puteri Kleopas, Maria Magdalena dan Salome. Suatu pasukan berkuda terdiri dari sekitar tigapuluh prajurit dari Yudea dan daerah sekitar Yoppa, yang sedang dalam perjalanan ke Yerusalem guna mengikuti perayaan, lewat tepat pada saat sekeliling Salib diliputi keheningan. Baik mereka yang ada di sana maupun mereka yang lewat dicekam kengerian dan ketakutan. Ketika mereka yang lewat melihat Yesus tergantung di kayu Salib, melihat bagaimana Ia diperlakukan dengan keji, dan melihat tanda-tanda luar biasa akan murka Allah yang terpancar dalam gejala alam, mereka diliputi kengerian dan berseru, “Andai Bait Allah tidak berada di Yerusalem, pastilah kota ini akan dibumihanguskan oleh sebab kejahatan sebegitu keji.” Kata-kata ini, yang meluncur dari bibir orang-orang asing - yang berpenampilan terhormat - menanamkan kesan mendalam dalam diri mereka yang ada di sana, dan ratap tangis serta seruan kesedihan segera terdengar di segala penjuru; beberapa orang berkumpul bersama dalam kelompok-kelompok, sebagian besar dengan bebas melampiaskan kesedihan mereka, walau sebagian dari antara khalayak ramai masih terus melontarkan hujat serta caci-maki sekeliling mereka. Kaum Farisi terpaksa merendahkan suara mereka, khawatir kalau-kalau terjadi pergolakan di antara massa, sebab mereka sadar benar akan kegelisahan besar yang terjadi di antara penduduk Yerusalem. Karena itu mereka berunding dengan Abenadar, kepala pasukan, dan bersepakat dengannya bahwa pintu gerbang kota yang ada dekat sana akan ditutup guna mencegah meluasnya kabar, dan bahwa mereka akan minta bala bantuan sejumlah 500 prajurit kepada Pilatus dan Herodes untuk bersiaga menghadapi kemungkinan terjadinya huru-hara. Sementara itu, kepala pasukan menggunakan segala daya upaya dalam wewenangnya demi mengusahakan ketenangan dan mencegah kaum Farisi menghina Yesus lebih lanjut, khawatir jika hal itu akan semakin menggusarkan rakyat.
Setelah pukul tiga, terang berangsur-angsur muncul kembali; bulan beranjak pergi dari bola matahari. Matahari bersinar, walau tampak redup, oleh sebab dikelilingi oleh semacam kabut kemerahan. Cuaca berangsur-angsur cerah kembali, bintang-bintang lenyap, namun langit masih tampak suram. Ketika melihat terang, keangkuhan para musuh Yesus segera bangkit kembali, pada saat itulah mereka berseru, “Lihat, Ia memanggil Elia.”
Bersambung...
No comments:
Post a Comment