Tuesday, March 22, 2011

Perjalanan Yesus Sebelum Ia Di Salib Hingga Ia Bangkit Kembali Part-1

 Yesus Memanggul Salib




Ketika Pilatus meninggalkan balai pengadilan, sebagian prajurit menyertainya, mereka berbaris tegap di depan istana; sebagian lainnya mengawal para penjahat. Duapuluh delapan kaum Farisi bersenjata pergi menuju forum dengan menunggang kuda guna menyertai Yesus ke tempat eksekusi; di antara mereka terdapat enam orang musuh bebuyutan Yesus yang ikut serta dalam penangkapan-Nya di Taman Zaitun. Para prajurit pembantu menggiring Yesus ke bagian tengah pengadilan, para hamba mencampakkan salib di depan kaki-Nya, dengan lengan salib terikat pada badan salib. Yesus berlutut di samping salib, memeluknya dengan tangan-tangan-Nya yang kudus, menciumnya tiga kali, dan pada saat yang sama memanjatkan doa syukur yang paling menyentuh hati kepada Bapa SurgawiNya atas karya penebusan yang baru saja Ia mulai. Merupakan kebiasaan di antara para imam kafir untuk memeluk suatu altar yang baru, begitu pulalah Yesus memeluk salib-Nya, altar agung di mana Kurban Silih Berdarah akan segera dipersembahkan. Para prajurit pembantu segera menyeret-Nya bangkit, dan lalu menghempaskan-Nya agar berlutut kembali, dan nyaris tanpa pertolongan meletakkan salib yang berat ke atas pundak kanan-Nya. Yesus menahan berat beban salib dengan tangan kanan-Nya. Aku melihat para malaikat datang menolong-Nya, jika tidak, bahkan mustahil Ia dapat mengangkat salib itu dari tanah. Sementara Yesus masih berlutut dan berdoa, para prajurit pembantu meletakkan lengan salib, yang agak sedikit melengkung dan belum diikatkan pada badan salib, ke atas punggung kedua penyamun dan mengikatkan tangan mereka erat-erat padanya. Badan salib digotong oleh para hamba, sebab potongan yang melintang tidak akan dipasangkan pada badan salib hingga saat eksekusi. Terompet ditiup guna memaklumkan keberangkatan pasukan berkuda Pilatus. Salah seorang Farisi yang tergabung dalam pasukan pengawal menghampiri Yesus yang masih tetap berlutut, katanya, “Berdiri! Kami sudah cukup mendengar khotbah-khotbah-Mu yang hebat itu; sekarang berdiri dan berangkat.” Mereka menarik-Nya berdiri dengan kasar, sebab Ia sama sekali tak dapat bangkit tanpa pertolongan. Yesus lalu merasakan di atas pundak-Nya beratnya beban salib yang harus kita panggul seturut teladan-Nya, seturut perintah-Nya yang benar dan kudus untuk mengikuti-Nya. Demikian, dimulailah arak-arakan kemenangan Raja segala Raja, arak-arakan yang dipandang begitu hina di bumi, namun begitu mulia di surga.


Dengan bantuan tali-temali yang diikatkan para algojo pada kaki salib, dua prajurit pembantu menahan salib untuk mencegahnya menumbuk sesuatu. Empat prajurit lain memegang tali-temali yang mereka lilitkan pada tubuh Yesus di bawah pakaian-Nya. Pemandangan akan Tuhan kita yang gemetar di bawah beban berat, segera mengingatkanku akan Ishak, ketika ia memikul kayu bakar yang dimaksudkan untuk mengurbankan dirinya sendiri di bukit. Terompet Pilatus dibunyikan sebagai tanda keberangkatan, sebab Pilatus sendiri bermaksud pergi ke Kalvari mengepalai detasemen prajurit, guna mencegah kemungkinan timbulnya pergolakan. Pilatus menunggang kuda, dengan segala kemegahannya, dikelilingi para prajurit dan sekelompok petugas Kalvari, diikuti oleh sekitar tiga ratus pasukan infantri yang datang dari perbatasan-perbatasan Italia dan Swiss. Iring-iringan didahului oleh seorang peniup terompet, yang meniup terompetnya di setiap ujung jalan dan memaklumkan hukuman. Sejumlah perempuan dan anak-anak berjalan di belakang arak-arakan dengan tali, paku, palu, dan keranjang-keranjang berisi berbagai macam perkakas dalam tangan mereka; lainnya, yang lebih kuat, membawa pancang, tangga, dan badan salib kedua penyamun; sementara sebagian dari kaum Farisi mengikuti dengan menunggang kuda. Seorang anak lelaki yang bertugas membawa prasasti dengan tulisan Pilatus untuk dipasang pada salib, juga membawa mahkota duri (yang telah ditanggalkan dari kepala Yesus) di ujung sebuah tongkat yang panjang, tetapi anak itu tidak tampak jahat dan keras hati seperti yang lainnya. Selanjutnya aku melihat Juruselamat dan Penebus terkasih - kedua kaki-Nya yang telanjang bengkak dan berdarah - punggung-Nya bongkok seolah Ia hendak tenggelam di bawah beban salib yang berat, sekujur tubuh-Nya penuh luka-luka dan berlumuran darah. Tampaknya Yesus setengah tak sadarkan diri karena kehabisan tenaga (tanpa tidur ataupun istirahat sejak Perjamuan Terakhir malam sebelumnya), lemas akibat kehilangan begitu banyak darah, dan terserang rasa dahaga yang hebat akibat demam dan sakit yang tak terperi. Yesus menyangga salib pada pundak kanan-Nya dengan tangan kanan-Nya, sementara tangan kiri-Nya terkulai nyaris tanpa daya di sampingnya. Dari waktu ke waktu tampak Yesus mengangkat naik jubah-Nya yang panjang agar jangan sampai kaki-Nya yang berdarah terjerat olehnya. Keempat prajurit pembantu yang memegangi tali-temali yang diikatkan sekeliling pinggang-Nya, berjalan agak jauh dari-Nya; dua yang di depan menarik-Nya maju, sementara dua yang di belakang menarik-Nya mundur, hingga Ia tak dapat bergerak maju tanpa harus bersusah payah. Kedua tangan-Nya tersayat oleh tali-temali yang membelenggunya; wajah-Nya berlumuran darah dan tak lagi dapat dikenali; rambut dan jenggot-Nya lengket oleh darah; beratnya beban salib dan rantai yang membelenggu-Nya bersama-sama menekan, mengakibatkan jubah wool-Nya menggigit luka-luka-Nya serta mengoyakkannya. Hanya kata-kata cemooh dan hinaan saja yang dilontarkan kepada-Nya, namun demikian Yesus tak kunjung henti berdoa bagi para penganiaya-Nya, wajah-Nya memancarkan perpaduan antara kasih dan penyerahan diri yang total. Banyak serdadu berjalan di samping arak-arakan; setelah Yesus, kedua penyamun digiring di belakangnya, dengan lengan salib yang terpisah dari badan salib dibebankan di atas punggung mereka, sementara kedua tangan mereka diikatkan erat pada kedua ujung lengan salib. Para penyamun mengenakan baju yang besar dan semacam selendang bahu yang menutup bagian atas tubuh mereka, serta topi jerami di atas kepala mereka. Penyamun yang baik tampak tenang, sementara yang lain sebaliknya, ia amat berang dan tak henti-hentinya mengumbar kutuk dan sumpah serapah. Bagian belakang arak-arakan dipimpin oleh sisa kaum Farisi yang menunggang kuda, yang hilir mudik menyampaikan perintah. Pilatus dan pasukannya agak jauh di belakang; ia berada di tengah-tengah para pejabatnya dengan pakaian kebesaran, didahului oleh petugas Kalvari dan diikuti oleh tiga ratus prajurit yang berjalan kaki. Pilatus melintasi forum dan kemudian masuk ke salah satu jalan utama; ia berarak melewati tengah kota guna mencegah timbulnya pemberontakan di antara rakyat.

Yesus digiring melalui suatu jalan belakang yang sempit, agar iring-iringan jangan sampai mengganggu mereka yang pergi menuju Bait Allah, dan juga agar Pilatus dan pasukannya dapat leluasa menguasai seluruh jalan utama. Orang banyak menghindar dan pergi menjauh begitu mereka membaca hukuman. Sebagian besar orang Yahudi pulang ke rumah masing-masing atau menuju Bait Allah, guna segera mempersiapkan kurban Anak Domba Paskah; tetapi sejumlah orang masih bersliweran dengan tergesa untuk melihat iring-iringan yang mengenaskan ini lewat. Para prajurit Romawi mencegah orang banyak ikut serta dalam arak-arakan, sebab itu mereka yang penuh rasa ingin tahu harus lewat jalan belakang yang memutar, atau mempercepat langkah mereka agar tiba di Kalvari sebelum Yesus. Jalanan di mana Yesus digiring adalah jalanan yang sempit dan kumuh; Yesus menanggung banyak kesakitan ketika harus melewatinya, sebab para prajurit pembantu berada di dekat-Nya dan menganiaya-Nya. Orang banyak menonton dari atas atap-atap rumah dan juga dari jendela-jendela, menghina-Nya dengan kata-kata cemooh; para kuli yang bekerja di jalanan melempari-Nya dengan lumpur dan kotoran; bahkan anak-anak, dengan hasutan para musuh Yesus, mengisi kantong-kantong baju mereka dengan kerikil-kerikil tajam, yang mereka lemparkan dari pintu-pintu rumah sementara Ia lewat, agar Ia akan terpaksa lebih bersusah-payah melangkah.

Yesus Jatuh Pertama Kali


Yesus jatuh pertama kali


Jalanan yang baru saja kita bicarakan, setelah membelok sedikit ke kiri, menjadi agak curam, juga semakin melebar, sebuah terowongan air bawah tanah yang berasal dari Gunung Sion melintas di bawahnya. Daerah sekitarnya merupakan lembah yang sering kali digenangi air dan lumpur setelah hujan, sebuah batu besar ditempatkan di tengah-tengah guna memudahkan orang melintasinya. Ketika Yesus tiba di tempat ini, tenaga-Nya sama sekali telah terkuras habis; Ia bahkan nyaris tak dapat bergerak; para prajurit pembantu menyeret serta menarik-Nya tanpa belas kasihan sedikit pun, hingga Ia jatuh terjerembab menghantam batu besar itu sementara salib jatuh di samping-Nya. Para algojo yang keji terpaksa berhenti, mereka menganiaya serta menghajar-Nya tanpa ampun; seluruh iring-iringan menjadi terhenti, mengakibatkan sedikit kekacauan. Sia-sia saja Tuhan kita mengulurkan tangan-Nya mohon seseorang membantu-Nya bangkit berdiri: “Ah!” serunya, “semuanya akan segera berakhir,” dan Ia memanjatkan doa bagi para musuh-Nya. “Angkat Dia,” kata orang-orang Farisi, “jika tidak, Ia akan mati di tangan kita.” Ada banyak perempuan dan anak-anak ikut serta dalam arak-arakan; para perempuan menangis, sementara anak-anak ketakutan. Tetapi, Yesus menerima penghiburan dari atas, Ia mengangkat kepala-Nya; namun, orang-orang biadab ini, jauh dari rasa iba hendak meringankan penderitaan-Nya, malahan mereka menancapkan lagi mahkota duri ke atas kepala-Nya sebelum mereka menarik-Nya keluar dari lumpur. Baru saja Ia berdiri menjejakkan kaki-Nya ketika mereka telah membebankan kembali salib berat ke atas pundak-Nya. Mahkota duri yang menudungi kepala-Nya menambah rasa sakit yang tak terperi, dan menyebabkan-Nya harus membungkuk ke satu sisi guna memberikan ruang bagi salib, yang menekan berat di pundaknya.

Yesus Jatuh Kedua Kali



Bunda Yesus yang berdukacita meninggalkan forum dengan disertai oleh Yohanes dan beberapa perempuan, segera setelah hukuman yang tak adil dimaklumkan. Bunda Maria sibuk berjalan kian kemari ke tempat-tempat yang telah dikuduskan oleh Tuhan kita dan membasahi tempat-tempat itu dengan airmatanya. Tetapi ketika suara terompet, orang-orang yang bergegas, dan gemerincing pasukan berkuda memaklumkan bahwa iring-iringan akan segera berangkat menuju Kalvari, Santa Perawan tak dapat menahan kerinduannya untuk melihat Putranya terkasih sekali lagi; ia mohon Yohanes untuk membawanya ke tempat yang pasti akan dilewati-Nya. Yohanes membimbingnya ke suatu istana yang pintu masuknya berada di jalan yang dilalui Yesus setelah Ia jatuh pertama kali; istana ini, aku yakin, adalah rumah kediaman Imam Besar Kayafas, yang balai pengadilannya terletak di bagian yang disebut Sion. Yohanes mohon dan mendapatkan ijin dari seorang hamba yang baik hati untuk berdiri di pintu masuk bersama Bunda Maria dan para perempuan yang menyertainya. Bunda Allah tampak pucat pasi, matanya sembab dan merah karena airmata, tubuhnya terbungkus rapat dalam balutan mantol berwarna abu-abu kebiruan. Teriak dan seruan cemooh dari khalayak ramai yang mengamuk terdengar jelas, juga bentara yang pada saat itu memaklumkan dengan suara lantang bahwa tiga penjahat akan segera disalibkan. Hamba itu membuka pintu, suara-suara yang mengerikan itu semakin lama semakin jelas terdengar, Bunda Maria jatuh berlutut. Setelah berdoa dengan khusuk, ia berpaling kepada Yohanes dan bertanya, “Haruskah aku tinggal? Ataukah sebaiknya aku pergi saja? Adakah aku memiliki kekuatan untuk menyaksikan pemandangan yang demikian?” Yohanes menjawab, “Bunda, jika engkau tidak tinggal dan melihat-Nya lewat, engkau akan menyesalinya di kemudian hari.” Karenanya, mereka tinggal dekat pintu, dengan mata menatap lekat pada arak-arakan yang masih berada di kejauhan dan bergerak maju perlahan. Ketika mereka yang membawa peralatan eksekusi mendekat, dan Bunda Yesus melihat wajah-wajah bengis penuh kemenangan, ia tak kuasa menahan perasaan hatinya, dijalin erat jari-jari kedua tangannya seolah memohon dengan sangat pertolongan dari surga. Melihat itu, seorang dari antara mereka bertanya kepada yang lain: “Siapakah perempuan itu yang berdukacita begitu rupa?” Temannya menjawab, “Ia adalah Bunda Orang Galilea itu.” Mendengar hal ini, orang-orang yang keji itu bukannya iba karena belas kasihan, malahan mereka mulai berolok-olok dengan dukacita Bunda yang paling berduka ini: mereka menunjuk-nunjuk kepadanya, salah seorang dari mereka mengambil paku-paku yang akan dipergunakan untuk memakukan Yesus pada salib dan memperlihatkannya kepada Santa Perawan dengan cara yang paling keji; tetapi Bunda Yesus memalingkan wajahnya, mengarahkan pandangannya kepada Yesus, yang semakin mendekat. Ia menyandarkan diri pada pilar untuk menopang tubuhnya, kalau-kalau ia tak sadarkan diri karena dukacita; sebab rona wajahnya putih bagaikan mayat dan bibirnya nyaris biru. Kaum Farisi yang menunggang kuda lewat, diikuti oleh anak laki-laki yang membawa prasasti, lalu Putra-Nya terkasih. Yesus hampir tenggelam di bawah beban berat salib-Nya, dan kepala-Nya, yang masih bermahkotakan duri, jatuh terkulai dalam sengsara di pundak-Nya. Yesus melemparkan tatapan belas kasih dan sengsara kepada BundaNya, terhuyung-huyung, dan jatuh untuk kedua kalinya di atas kedua tangan dan lutut-Nya. Bunda Maria sama sekali hancur luluh melihatnya; ia tak ingat apa-apa lagi; ia tak melihat baik para prajurit maupun para algojo; ia tak melihat siapa-siapa selain Putranya yang terkasih dan tersayang. Ia menghambur dari pintu ke tengah kerumunan massa yang sedang menganiaya serta menyiksa-Nya, jatuh berlutut di sisi Putranya lalu memeluk-Nya erat-erat. Kata-kata yang aku dengar hanyalah, “Putraku terkasih!” dan “Bunda!” tetapi aku tidak yakin apakah kata-kata ini sungguh diucapkan atau hanya ada dalam benakku saja.


Sejenak terjadi kebingungan. Yohanes dan para perempuan kudus berusaha membangkitkan Bunda Maria agar berdiri, para prajurit pembantu menghardiknya; seorang di antara mereka berkata, “Apa yang kau lakukan di sini, hai perempuan? Ia tidak akan berada dalam tangan kami andai Ia dididik dengan baik.”

Sebagian dari para prajurit tersentuh hatinya, dan walau mereka harus meminta Santa Perawan untuk minggir dan tidak menghalangi jalan, tak seorang pun berani menyentuhnya. Yohanes dan para perempuan kudus mengelilingi Bunda Maria yang jatuh lemas setengah tak sadarkan diri, tubuhnya roboh ke sebuah batu yang terletak dekat pintu masuk; di atas batu itulah jejak-jejak tangannya tertera. Batu yang sangat keras ini sesudahnya dipindahkan ke sebuah gereja Katolik pertama yang dibangun di Yerusalem, dekat Kolam Betsaida, pada masa St Yakobus Muda menjadi uskup kota itu. Kedua murid yang bersama Bunda Yesus membopongnya masuk ke dalam rumah, lalu pintu ditutup. Sementara itu, para prajurit pembantu telah menarik Yesus berdiri dan dengan sikap berbeda memerintahkan-Nya untuk memanggul salib. Lengan salib dilepaskan ikatannya dari badan salib dan dililitkan dengan tali-temali hingga Yesus dapat menahan potongan kayu itu dengan kedua lengan-Nya, dengan cara demikian berat badan salib sedikit terkurangi, karena badan salib lebih terseret ke tanah. Aku melihat banyak orang berdiri di sana sini dalam kelompok-kelompok, sebagian besar memuaskan nafsu jahat mereka dengan menghina Tuhan kita dengan berbagai macam cara, tetapi sekelompok kecil wanita berkedurung menangis terisak-isak.


Simon dari Kirene ~ Yesus Jatuh Ketiga Kali




Arak-arakan tiba di sebuah bangunan melengkung yang dibangun pada sebuah tembok tua milik kota, berhadapan dengan alun-alun, di mana tiga jalan berakhir, ketika Yesus tersandung sebuah batu besar yang ditempatkan di tengah jalan; salib tergelincir dari pundak-Nya sementara Ia jatuh terkapar di atas batu dan sama sekali tak berdaya untuk bangkit berdiri. Banyak orang berpenampilan terhormat, yang sedang dalam perjalanan menuju Bait Allah, berhenti dan berseru penuh rasa iba: “Lihat laki-laki malang itu, pastilah Ia akan mati!” tetapi para musuh-Nya tak menunjukkan belas kasihan sedikit pun. Jatuh Yesus mengakibatkan iring-iringan terhenti, sebab Tuhan kita tak mampu bangkit kembali. Kaum Farisi berteriak kepada para prajurit, “Kita tak akan dapat membawa-Nya ke tempat eksekusi dalam keadaan hidup, jika kalian tidak mendapatkan seseorang untuk memanggul salib-Nya.” Saat itulah Simon dari Kirene, seorang kafir, kebetulan berjalan lewat, dengan disertai ketiga anaknya. Simon, seorang tukang kebun, dalam perjalanan pulang ke rumah setelah bekerja di suatu taman dekat tembok sebelah timur kota; ia membawa sekantong potongan ranting tanam-tanaman. Dari pakaian yang dikenakannya, para prajurit segera mengenali Simon sebagai seorang kafir; mereka menahannya dan memerintahkannya untuk membantu Yesus memanggul salib-Nya. Pada mulanya ia menolak, tetapi segera terpaksa taat; meskipun anak-anaknya menangis dengan ribut karena takut, hingga beberapa perempuan menenangkan serta menjaga mereka. Simon teramat marah, dan dengan hebat mengungkapkan kekesalan hatinya karena dipaksa berjalan dengan seorang yang keadaannya begitu hina, dekil dan penuh sengsara; tetapi Yesus meneteskan airmata dan menatap padanya dengan tatapan surgawi yang begitu lemah lembut sehingga hatinya tersentuh. Bukannya terus menunjukkan kedongkolan hatinya, malahan ia membantu Yesus bangkit, sementara para algojo mengikatkan satu sisi lengan salib ke atas pundaknya. Simon berjalan di belakang Tuhan kita, dengan demikian banyak meringankan Yesus dari beban salib yang berat. Ketika segala sesuatunya telah siap, arak-arakan pun bergerak maju kembali. Simon seorang yang kekar perawakannya, usianya sekitar empatpuluh tahun. Anak-anaknya mengenakan jubah dari bahan yang berwarna-warni. Dua yang tertua, Rufus dan Aleksander, di kemudian hari menggabungkan diri dengan para murid Yesus; yang ketiga jauh lebih kecil, tetapi beberapa tahun sesudahnya pergi untuk tinggal bersama St Stefanus. Simon tidak akan memanggul salib Yesus barang sekejap pun andai ia tidak merasakan hatinya tersentuh begitu dalam oleh rahmat Tuhan.

Kerudung Veronica

Veronika mengusap Wajah Yesus


Sementara arak-arakan melewati suatu jalanan yang panjang, terjadi suatu peristiwa yang meninggalkan kesan mendalam dalam diri Simon. Banyak orang dari kalangan terhormat sedang bergegas menuju Bait Allah, sebagian besar dari mereka menghindar ketika melihat Yesus, sebab mereka takut mencemarkan diri, sebaliknya sebagian yang lain berhenti dan menunjukkan belas kasihan terhadap sengsara-Nya. Ketika arak-arakan telah maju kurang lebih dua ratus langkah dari tempat di mana Simon mulai membantu Tuhan kita memanggul salib-Nya, pintu sebuah rumah yang indah di kiri jalan terbuka, seorang perempuan berpenampilan anggun, dengan menggandeng seorang gadis kecil, keluar dan melangkah pasti menuju arak-arakan. Serafia adalah nama perempuan pemberani tersebut, yang dengan berbuat demikian berani berhadapan dengan khalayak ramai yang murka. Serafia adalah isteri Sirakh, salah seorang anggota sidang Bait Allah. Di kemudian hari, Serafia dikenal sebagai Veronica, nama yang diambil dari kata “vera icon” (gambar asli), guna mengenangkan tindakannya yang gagah berani pada hari ini.


Serafia telah mempersiapkan anggur harum yang sedap, yang dengan saleh hendak dipersembahkannya kepada Tuhan kita guna sedikit menyegarkan-Nya dalam perjalanan sengsara-Nya ke Kalvari. Ia telah berdiri menunggu di pinggir jalan beberapa waktu lamanya, dan akhirnya memutuskan untuk kembali ke rumah dan menanti. Saat pertama kali aku melihatnya, ia terbalut dalam kerudung panjang, menggenggam tangan seorang gadis kecil berumur sembilan tahun yang diadopsinya; sehelai kerudung besar tergantung pada lengannya; gadis kecil itu berusaha menyembunyikan tempayan anggurnya ketika iring-iringan datang mendekat. Mereka yang berbaris di bagian depan iring-iringan berusaha mendorong Serafia mundur; tetapi ia terus maju menerobos khalayak ramai, para prajurit, para prajurit pembantu, hingga tiba pada Yesus; ia berlutut di hadapan-Nya dan mengulurkan kerudung sembari berkata, “Ijinkanlah hamba menyeka wajah Tuhan-ku.” Yesus menyambut kerudung dengan tangan kiri-Nya, menyeka wajah-Nya yang berlumuran darah, lalu mengembalikannya seraya mengucapkan terima kasih. Serafia mencium kain itu dan menyimpannya di bawah mantolnya. Gadis kecil dengan malu-malu menyerahkan anggur, tetapi para prajurit yang brutal tak mengijinkan Yesus meminumnya. Tindakan Serafia yang nekad dan sekonyong-konyong ini membuat para prajurit terpaku, mengakibatkan kelengangan sesaat, walau tak disengaja, yang dimanfaatkan Serafia untuk menyerahkan kerudung kepada Guru Ilahi-nya. Baik kaum Farisi maupun para prajurit amat murka, bukan hanya karena jeda sesaat ini, melainkan terlebih karena penghormatan yang disampaikan kepada Yesus, yang dilakukan di hadapan publik, sebab itu mereka melampiaskan murka mereka dengan menyiksa serta menghajar Yesus, sementara Serafia bergegas kembali ke rumahnya.

Begitu tiba di rumah, Serafia meletakkan kerudung wolnya di atas meja, sementara ia sendiri jatuh berlutut nyaris tak sadarkan diri. Seorang sahabat yang masuk ke rumah sebentar kemudian, mendapati Serafia terus berlutut dalam keadaan demikian, dengan gadis kecil menangis di sisinya, dan, dengan terperanjat, sahabat itu mendapati wajah Tuhan kita yang berdarah tergambar di atas kerudung, sungguh suatu gambar yang hidup, yang meluluhkan serta menyayat hati siapa saja yang memandangnya. Lelaki itu membangkitkan Serafia dan menunjuk ke arah kerudung. Lagi, Serafia bersujud di hadapan kerudung seraya berseru dengan air mata berderai, “Sekarang, sungguh aku harus menyerahkan segala-galanya dengan hati bahagia, sebab Tuhan-ku telah berkenan memberiku kenangan akan DiriNya.” Tekstur kerudung ini terbuat dari wol yang sangat baik mutunya; panjangnya tiga kali lebarnya, biasanya dikenakan sebagai penutup bahu. Merupakan suatu kebiasaan memberikan kerudung semacam ini kepada mereka yang sedang dilanda duka, atau yang berbeban berat, atau sakit, agar mereka dapat menyeka wajah mereka dengannya; hal ini biasa dilakukan guna mengungkapkan simpati atau belas kasihan. Veronica menyimpan kerudung itu hingga akhir hayatnya, memasangnya di atas kepala tempat tidurnya; kemudian kerudung itu diserahkan kepada Santa Perawan, yang mewariskannya kepada para rasul, yang sesudahnya mewariskannya kepada Gereja.

Serafia dan Yohanes Pembaptis adalah saudara sepupu; ayah Serafia adalah saudara Zakharia. Ketika Yoakim dan Anna membawa Santa Perawan, yang kala itu masih berumur empat tahun, ke Yerusalem, untuk menyerahkannya sebagai perawan Bait Allah, mereka menginap di rumah Zakharia, yang letaknya dekat dengan pasar ikan. Serafia, yang setidaknya lima tahun lebih tua dari Santa Perawan, datang pada perkawinan Santa Perawan dengan St Yosef. Serafia juga sanak Simeon tua, yang menyampaikan nubuat ketika Kanak-kanak Yesus diserahkan dalam buaiannya. Serafia dibesarkan bersama kedua putera Simeon; baik kepada kedua puteranya maupun kepada Serafia, Simeon menanamkan kerinduan yang berkobar untuk melihat Tuhan kita. Ketika Yesus berusia duabelas tahun dan tinggal mengajar di Bait Allah, Serafia, yang pada waktu itu belum menikah, mengirimkan makanan untuk-Nya setiap hari ke sebuah penginapan kecil, sekitar seperempat mil jauhnya dari Yerusalem, di mana Yesus tinggal apabila Ia tidak sedang berada di Bait Allah. Bunda Maria tinggal di penginapan itu selama dua hari, ketika dalam perjalanannya dari Betlehem ke Yerusalem untuk mempersembahkan Putranya di Bait Allah. Kedua orang tua yang mengurus penginapan ini adalah kaum Esseni; mereka bersahabat baik dengan Keluarga Kudus. Penginapan itu memiliki semacam bangunan bagi kaum miskin, Yesus dan para murid-Nya sering pergi ke sana untuk menginap.

Serafia menikah dalam usia yang agak lambat; suaminya, Sirakh, adalah keturunan Susana yang saleh; ia seorang anggota Sanhedrin. Pada mulanya ia amat menentang Tuhan kita, dan isterinya harus banyak menderita karena keterikatannya pada Yesus dan pada para perempuan kudus, tetapi Yusuf dari Arimatea dan Nikodemus memberikan pemahaman yang lebih baik kepada Sirakh, dan ia mengijinkan Serafia untuk mengikuti Tuhan kita. Ketika Yesus diadili secara tidak adil di istana Kayafas, suami Serafia bergabung dengan Yusuf dan Nikodemus yang mengupayakan pembebasan bagi Tuhan kita; mereka bertiga akhirnya mengundurkan diri dari jabatan mereka dalam Sidang.

Serafia berusia sekitar limapuluh tahun ketika arak-arakan kemenangan Tuhan kita memasuki Yerusalem pada hari Minggu Palma, dan aku melihatnya melepaskan kerudungnya lalu menebarkannya ke atas tanah agar Yesus dapat berjalan di atasnya. Kerudung yang sama ia persembahkan kepada Yesus dalam arak-arakan-Nya yang kedua, arak-arakan yang menurut dunia jauh dari kemuliaan, tetapi sesungguhnya jauh teramat mulia. Kerudung itu memperolehkan nama baru bagi Serafia, yaitu Veronica. Kerudung masih disimpan hingga kini dan dihormati oleh umat beriman.

Yesus Jatuh Keempat dan Kelima Kalinya
Puteri-Puteri Yerusalem



Arak-arakan masih agak jauh dari gerbang barat daya yang besar, yang dibangun pada tembok kota, sementara jalanan tidak rata dan curam. Arak-arakan pertama-tama harus lewat di bawah kubah bangunan yang melengkung, lalu melintasi sebuah jembatan, dan akhirnya lewat di bawah bangunan melengkung yang kedua. Tembok di sebelah kiri gerbang pada mulanya menuju ke arah selatan, lalu sedikit mengarah ke barat, dan akhirnya menuju ke selatan di belakang Bukit Sion. Ketika arak-arakan mendekati gerbang ini, para prajurit pembantu yang beringas mendorong Yesus ke sebuah kubangan yang ada dekat sana. Simon dari Kirene, dalam usahanya menghindari kubangan, memutar palang salibnya, mengakibatkan Yesus jatuh keempat kalinya, tercebur ke dalam lumpur yang kotor. Simon bersusah-payah mengangkat salib kembali. Yesus lalu berseru dalam nada suara yang, walaupun jelas, terdengar sedih dan menyayat hati, “Yerusalem, Yerusalem. Berkali-kali Aku rindu mengumpulkan anak-anakmu, sama seperti induk ayam mengumpulkan anak-anaknya di bawah sayapnya, tetapi kamu tidak mau.” Ketika kaum Farisi mendengar perkataan ini, amarah mereka meledak; mereka melancarkan kembali caci-maki serta hajaran yang bertubi guna memaksa-Nya segera keluar dari lumpur. Kekejian mereka terhadap Yesus amat menggusarkan hati Simon dari Kirene hingga akhirnya ia berseru, “Jika kalian terus bersikap brutal seperti ini, aku akan melemparkan salib ini dan tidak mau memikulnya lagi. Kalian dapat memaksaku hanya setelah kalian melangkahi mayatku terlebih dulu.”


Suatu jalanan yang sempit dan berbatu segera terlihat begitu pintu gerbang terlewati; jalanan ini mengarah ke utara dan menuju ke Kalvari. Jalanan yang tinggi sesudahnya segera terbagi menjadi tiga cabang, jalanan pertama mengarah ke barat daya, menuju ke Betlehem melalui lembah Gihon; jalanan kedua mengarah ke selatan, menuju ke Emaus dan Joppa; jalanan ketiga juga mengarah ke barat daya, mengitari Kalvari dan berakhir di pintu gerbang yang menuju ke Bethsur. Orang yang berdiri di pintu gerbang di mana Yesus digiring, dapat dengan mudah melihat gerbang Betlehem. Para petugas telah mengikatkan suatu papan pengumuman pada sebuah tonggak yang berdiri di awal jalan yang menuju Kalvari, guna memaklumkan kepada siapa saja yang lewat bahwa Yesus dan kedua penyamun akan segera dihukum mati. Sekelompok perempuan bergerombol dekat sana, menangis dan meratap; banyak di antara mereka yang menggendong anak-anak kecil dalam pelukan mereka; sebagian besar adalah para gadis dan para perempuan dari Yerusalem yang mendahului arak-arakan; sebagian kecil lainnya berasal dari Betlehem, Hebron dan daerah-daerah sekitarnya, yang datang untuk merayakan Paskah.

Yesus nyaris jatuh lagi, tetapi Simon, yang ada di belakang-Nya dan melihat bahwa Ia tak sanggup bertahan, bergegas menopang-Nya. Yesus menyandarkan diri pada Simon, dan dengan demikian terhindar dari jatuh terkapar di atas tanah. Ketika para perempuan dan anak-anak melihat keadaan Tuhan kita bagaimana Ia dihinakan begitu rupa, mereka menangis meraung-raung, meratap, dan menurut kebiasaan orang Yahudi, mengulurkan kain kepada Yesus guna menyeka wajah-Nya. Yesus berpaling kepada mereka dan berkata, “Hai puteri-puteri Yerusalem, janganlah kamu menangisi Aku, melainkan tangisilah dirimu sendiri dan anak-anakmu! Sebab lihat, akan tiba masanya orang berkata: Berbahagialah perempuan mandul dan yang rahimnya tidak pernah melahirkan, dan yang susunya tidak pernah menyusui. Maka orang akan mulai berkata kepada gunung-gunung: Runtuhlah menimpa kami! dan kepada bukit-bukit: Timbunilah kami! Sebab jikalau orang berbuat demikian dengan kayu hidup, apakah yang akan terjadi dengan kayu kering?” Kemudian Yesus mengucapkan beberapa patah kata penghiburan kepada mereka, yang tak dapat aku ingat dengan jelas.

Arak-arakan berhenti sejenak. Para algojo, yang berangkat terlebih dahulu, telah tiba di Kalvari dengan segala peralatan eksekusi, di belakang mereka seratus prajurit Romawi yang berangkat bersama Pilatus; Pilatus hanya menyertai arak-arakan hingga ke pintu gerbang, lalu kembali ke kota.
Yesus di Bukit Golgota
Yesus Jatuh Keenam dan Ketujuh Kali

Arak-arakan bergerak maju kembali. Jalanan sangat curam dan tidak rata antara tembok-tembok kota dan Kalvari. Yesus amat bersusah-payah berjalan dengan beban berat di pundak-Nya; namun demikian, para musuh-Nya yang keji, jauh dari rasa iba sedikit pun atau berusaha meringankan sengsara-Nya, malahan terus-menerus mendesak-Nya maju dengan cara mendaratkan pukulan-pukulan dahsyat ke tubuh-Nya seraya melontarkan kata-kata kutuk yang mengerikan. Akhirnya, mereka tiba di suatu tempat di mana jalanan menikung tajam ke selatan; di sini Yesus tersandung dan jatuh untuk keenam kalinya. Jatuhnya sungguh parah, tetapi para pengawal terlebih lagi menghajar-Nya guna memaksa-Nya bangkit berdiri. Segera sesudah Ia tiba di Kalvari, Yesus jatuh terkapar lagi untuk ketujuh kalinya.


Simon dari Kirene diliputi rasa dongkol terhadap sikap para prajurit pembantu sekaligus belas kasihan terhadap Yesus. Tanpa menghiraukan tubuhnya sendiri yang lelah letih, ia mohon diijinkan tinggal agar dapat membantu Yesus; tetapi para prajurit pembantu memakinya lalu mengusirnya pergi. Segera Simon bergabung dengan kelompok para murid. Kemudian para algojo memerintahkan agar para pekerja dan anak-anak lelaki yang membawa peralatan eksekusi supaya segera pergi. Kaum Farisi segera datang dengan menunggang kuda; mereka mengambil jalan yang baik dan halus yang menuju sisi timur Kalvari. Dari puncak Kalvari terlihat pemandangan yang indah atas seluruh kota Yerusalem. Puncak Kalvari bentuknya melingkar, kurang lebih seluas sekolah menunggang kuda; sekelilingnya dibentengi tembok yang rendah dengan lima pintu masuk yang terpisah. Tampaknya lima merupakan angka yang umum di daerah itu; ada lima jalan di kolam pembasuhan, di tempat di mana mereka dibaptis, di Kolam Betsaida, dan juga ada banyak kota memiliki lima pintu gerbang. Kekhasan ini, sama seperti banyak kekhasan lainnya di Tanah Suci, mengandung suatu makna nubuat yang kental; yaitu bahwa angka lima; yang begitu sering muncul, melambangkan lima luka-luka Juruselamat kita yang kudus, yang akan membukakan bagi kita pintu gerbang surga.


Para prajurit berkuda berhenti di sisi barat bukit, di mana lereng bukit tidak terlalu curam. Sisi sebelah atas, di mana para tawanan dibawa, permukaannya curam dan tidak rata. Sekitar seratus prajurit disiagakan di bagian-bagian bukit yang berbeda, dan karena mereka memerlukan tempat yang agak luas, para penyamun tidak digiring naik ke atas, melainkan diperintahkan untuk berhenti dan berbaring di tanah dengan kedua tangan mereka terikat pada salib. Para prajurit berdiri sekelilingnya dan menjaga mereka. Kerumunan orang banyak yang tidak takut mencemarkan diri, berdiri dekat puncak atau tempat-tempat sekitar yang permukaannya tinggi; sebagian besar mereka berasal dari kalangan kelas bawah - orang-orang asing, para hamba dan orang-orang kafir; sejumlah dari mereka adalah perempuan.

Kira-kira pukul duabelas kurang seperempat ketika Yesus, dengan salib di pundak-Nya, jatuh terkapar tepat di tempat di mana Ia akan disalibkan. Para algojo yang tak berperikemanusiaan menyeret Yesus ke atas menggunakan tali-temali yang mereka ikatkan sekeliling pinggang-Nya, lalu mereka melepaskan ikatan lengan salib dan melemparkan palang itu ke atas tanah. Pemandangan akan Tuhan kita pada saat ini, sungguh mengenaskan, hingga mampu menggerakkan hati yang paling keras sekalipun untuk berbelas kasihan. Yesus berdiri, atau tepatnya membongkok, dekat salib, nyaris tak mampu menopang DiriNya Sendiri; wajah surgawi-Nya pucat pasi bagaikan seorang di ujung maut, meskipun segala luka-luka dan darah yang mengental membuat-Nya sulit dikenali hingga tampak mengerikan. Namun demikian, sungguh sayang! hati orang-orang keji ini bahkan lebih keras daripada baja, dan tanpa rasa iba sedikit pun, mereka menghempaskan-Nya dengan bengis ke tanah, seraya berseru dengan nada mengejek, “Raja yang Mahakuasa, kami hendak mempersiapkan tahta bagi baginda.” Yesus segera menempatkan DiriNya di atas salib; mereka mengukur serta menandai tempat-tempat untuk kedua tangan dan kaki-Nya, sementara kaum Farisi tak henti-hentinya mencemooh Kurban mereka yang tiada melawan. Ketika segala pengukuran telah selesai, mereka menggiring Yesus ke sebuah gua yang terdapat dalam bukit karang, yang dulunya biasa dipergunakan sebagai tempat penyimpanan. Mereka membuka pintunya, mendorong-Nya masuk begitu hebat hingga jika bukan karena pertolongan para malaikat, pastilah kedua kaki-Nya telah patah karena jatuh demikian dahsyat ke atas lantai batu yang kasar. Dengan jelas aku mendengar Yesus mengerang kesakitan, tetapi mereka segera menutup pintunya dan menempatkan penjaga-penjaga di depannya, sementara para prajurit pembantu melanjutkan persiapan mereka untuk penyaliban.

Bagian tengah puncak bukit merupakan bagian yang paling tinggi di Kalvari - merupakan suatu puncak yang bundar, tingginya sekitar dua kaki; orang harus mendaki dua atau tiga langkah untuk mencapai puncaknya. Para algojo menggali lubang-lubang untuk ketiga salib di puncak bukit ini. Lubang yang diperuntukkan bagi kedua penyamun dibuat satu di sebelah kanan, dan satu di sebelah kiri lubang yang diperuntukkan bagi salib Tuhan kita; kedua lubang itu lebih rendah dan lebih kasar buatannya daripada lubang salib Yesus. Lalu mereka menggotong salib Juruselamat kita ke tempat di mana Ia hendak disalibkan dan menempatkannya dengan posisi begitu rupa hingga salib dapat dengan mudah jatuh masuk ke dalam lubang yang telah dipersiapkan. Mereka mengikatkan lengan salib erat-erat ke badan salib, memakukan papan di bagian bawah yang dimaksudkan sebagai tumpuan kaki, membuat lubang-lubang untuk paku, serta membuat lekukan-lekukan di badan salib di bagian-bagian yang akan menyangga kepala dan punggung Tuhan kita, agar tubuh-Nya dapat menempel pada salib, dan bukannya menggantung. Tujuan mereka adalah memperpanjang penyiksaan, sebab jika berat seluruh tubuh-Nya dibiarkan bertumpu pada kedua tangan-Nya, maka kedua tangan-Nya akan terkoyak parah dan kematian akan datang lebih cepat dari yang mereka harapkan. Para algojo lalu memancangkan potongan-potongan kayu ke tanah agar salib dapat berdiri tegak, dan mereka melakukan persiapan-persiapan lainnya yang serupa.

Bunda Maria dan Para Perempuan Kudus Menuju Kalvari


Meskipun Bunda Maria dibopong dalam keadaan tak sadarkan diri setelah perjumpaan yang memilukan dengan Putranya yang memanggul salib, namun ia segera siuman kembali. Kasih dan kerinduan yang berkobar untuk melihat Putranya sekali lagi, menanamkan dalam dirinya perasaan kuat yang adikodrati. Dengan disertai para sahabat, Santa Perawan pergi ke rumah Lazarus yang terletak di pinggiran kota, di mana Marta, Magdalena dan banyak perempuan kudus lainnya telah berkumpul. Semuanya sedih dan berduka; Magdalena tak kuasa membendung airmata dan ratap-tangisnya. Mereka berangkat dari rumah Lazarus, seluruhnya berjumlah kurang lebih tujuhbelas orang, untuk melakukan jalan salib, menelusuri setiap jejak langkah Yesus dalam perjalanan-Nya yang paling menyakitkan. Bunda Maria menghitung-hitung setiap langkah, dan karena memperoleh pencerahan batin, ia menunjukkan kepada para sahabat tempat-tempat yang telah dikuduskan oleh suatu sengsara tertentu. Demikianlah pedang tajam yang dinubuatkan Simeon tua untuk pertama kalinya menembusi hati Bunda Maria; devosi yang menyentuh hati ini sejak saat itu terus-menerus dipraktekkan dalam Gereja. Bunda Maria menyampaikannya kepada para sahabat; para sahabat mewariskannya kepada generasi-generasi selanjutnya, - suatu hadiah yang sungguh teramat berharga, yang dianugerahkan Tuhan kita kepada BundaNya terkasih, dan yang disampaikan dari hati Santa Perawan kepada hati anak-anaknya lewat tradisi yang saleh.


Ketika para perempuan kudus tiba di rumah Veronica, mereka segera masuk, sebab Pilatus dan para pejabatnya saat itu sedang berarak melintasi jalan dalam perjalanan kembali ke istana. Para perempuan kudus meledak dalam tangis pilu saat melihat wajah Yesus yang tergambar pada kerudung Veronica; mereka menyampaikan ucapan syukur kepada Tuhan atas rahmat yang Ia anugerahkan kepada hamba-Nya yang setia. Mereka mengambil tempayan berisi anggur sedap yang tak diperbolehkan diminum Yesus oleh orang-orang Yahudi, dan bersama-sama berangkat menuju Golgota. Jumlah mereka meningkat drastis sebab banyak laki-laki maupun perempuan saleh yang diliputi belas kasih sengsara Tuhan kita, menggabungkan diri dengan mereka. Mereka mendaki sisi barat Kalvari yang lerengnya tidak terlalu curam.


Bunda Yesus dengan disertai oleh kemenakannya, yaitu Maria (puteri Kleopas), Yohanes dan Salome mendaki hingga cukup dekat puncak bundar; tetapi Marta, Maria Heli, Veronica, Yohana isteri Khuza, Susana, dan Maria ibunda Markus, tetap tinggal di bawah bersama Magdalena, yang nyaris tak mampu menopang dirinya sendiri. Agak lebih bawah terdapat kelompok ketiga dari para perempuan kudus. Selain itu, juga ada beberapa orang yang tersebar di antara ketiga kelompok tersebut, yang menyampaikan pesan-pesan dari kelompok yang satu ke kelompok yang lain. Kaum Farisi dengan menunggang kuda hilir mudik di antara orang banyak; para prajurit Romawi disiagakan di kelima pintu masuk. Bunda Maria menatap lekat tempat eksekusi sementara ia berdiri terpaku, - sungguh suatu pemandangan yang mengerikan serta meremukkan hati seorang ibunda. Di sana tergeletak salib yang ngeri, palu dan martil, tali-temali, paku-paku. Di sekitar alat-alat siksa yang ngeri itu berdiri para algojo yang brutal, setengah mabuk, dan nyaris tanpa busana, mengutuk serta menyumpah sementara melakukan persiapan. Dukacita Bunda Maria semakin bertambah dahsyat sebab ia tak dapat melihat Putranya; ia tahu bahwa Putranya masih hidup, dan ia merasakan kerinduan yang begitu dahsyat untuk sekali lagi dapat memandang Putranya, sementara pikiran akan segala siksa dan aniaya yang masih harus Ia derita menjadikan hatinya siap hancur-remuk karena dukacita yang hebat.
Rintik-rintik hujan es turun beberapa kali sepanjang pagi, tetapi matahari bersinar kembali setelah pukul sepuluh; suatu kabut tebal kemerahan mulai meliputinya menjelang pukul duabelas.

Bersambung..

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...