Perkataan Kelima, Keenam dan Ketujuh Yesus dari atas Salib ~ Wafat-Nya
Terang berangsur-angsur pulih, dan wajah Tuhan kita yang pucat pasi kehabisan tenaga mulai terlihat kembali. Tubuh-Nya menjadi jauh lebih pucat karena banyaknya darah yang tercurah. Aku mendengar Yesus berseru, “Aku diperas bagaikan anggur yang dikilang dalam tempat pemerasan anggur. DarahKu akan tercurah habis hingga air yang keluar, tetapi anggur tak akan lagi dibuat di sini.” Aku tidak yakin apakah Yesus sungguh mengucapkan kata-kata ini, sehingga dapat didengarkan oleh orang-orang lain, atau apakah kata-kata ini sekedar jawaban atas doa batinku. Sesudahnya, aku mendapatkan suatu penglihatan sehubungan dengan kata-kata ini, dalam penglihatan itu aku melihat Yafet membuat anggur di tempat ini.
Yesus nyaris tak sadarkan diri; lidah-Nya kering kerontang, dan Ia berkata, “Aku haus!” Para murid yang berdiri sekeliling Salib memandang kepada-Nya dengan tatapan duka mendalam. Lagi Yesus berkata, “Tak dapatkah engkau memberi-Ku sedikit air?” Dengan perkataan-Nya ini Ia membuat mereka mengerti bahwa tak seorang pun yang akan mencegah mereka melakukannya sepanjang masa kegelapan. Yohanes diliputi rasa sesal dan menjawab: “Tak terpikirkan oleh kami untuk melakukannya, ya Tuhan.” Yesus mengucapkan beberapa patah kata lagi, yang artinya adalah: “Sahabat-sahabat-Ku dan teman-teman-Ku juga telah melupakan Aku, mereka tidak memberi-Ku minum, dengan demikian genaplah apa yang tertulis mengenai Aku.” Rasa diabaikan ini sangat menyedihkan hati Yesus. Para murid lalu menyerahkan sejumlah uang kepada para prajurit agar mengijinkan mereka memberi Yesus sedikit minum. Para prajurit menolak, tetapi mereka mencelupkan bunga karang ke dalam anggur asam dan empedu, dan hendak memberikannya kepada Yesus, ketika kepala pasukan, Abenadar, yang hatinya tergerak oleh belas kasihan, mengambil bunga karang dari tangan para prajurit, memeras empedunya, menuangkan anggur asam segar ke dalam bunga karang, memasangkannya pada sebatang buluh, menempatkan buluh di ujung sebilah tombak, dan menyerahkannya kepada Yesus agar Ia minum. Aku mendengar Tuhan kita mengatakan beberapa hal lain, tetapi yang aku ingat hanyalah perkataan ini: “Apabila suara-Ku tak lagi terdengar, maka mulut orang-orang mati akan terbuka.” Sebagian dari mereka yang hadir berteriak, “Ia menghujat lagi!” Tetapi Abenadar menyuruh mereka diam.
Akhirnya, saat Tuhan kita tiba; pergulatan maut-Nya dimulai; keringat dingin mengaliri sekujur tubuh-Nya. Yohanes berdiri di kaki Salib; ia menyeka kaki Yesus dengan kain pundaknya. Magdalena meringkuk di atas tanah dalam dukacita yang begitu hebat di belakang Salib. Santa Perawan berdiri di antara Yesus dan penyamun yang baik, dengan ditopang oleh Salome dan Maria Kleopas; mata sang Bunda menatap lekat wajah Putranya yang di ambang ajal. Yesus lalu berkata, “Sudah selesai,” dan mengangkat kepala-Nya, Ia berseru dengan suara nyaring, “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan RohKu.” Kata-kata ini, yang Ia ucapkan dengan suara yang jelas dan bergetar, menggema melintasi surga dan bumi; dan sekejap kemudian, Ia menundukkan kepala-Nya dan menyerahkan RohNya. Aku melihat jiwa-Nya dalam rupa sebuah meteor yang cemerlang, menembusi bumi di bawah kaki Salib. Yohanes dan para perempuan kudus jatuh rebah ke atas tanah (= prostratio). Kedua mata Abenadar terus terpaku menatap wajah Tuhan kita yang telah rusak sama sekali. Kepala pasukan ini sepenuhnya dikuasai oleh segala yang telah terjadi. Ketika sesaat sebelum wafat, Tuhan kita memaklumkan kata-kata terakhir-Nya dengan suara nyaring, bumi berguncang dan bukit karang Kalvari terbelah, membentuk suatu jurang yang dalam antara Salib Tuhan kita dengan salib Gesmas. Suara Tuhan - suara yang khidmad dan dahsyat - menggema ke seluruh jagad raya; memecahkan keheningan senyap yang kala itu membungkam alam. Segalanya telah usai. Jiwa Tuhan kita telah meninggalkan tubuh-Nya; seruan terakhir-Nya menyesakkan dada dengan kengerian. Bumi yang bergoncang menghaturkan sembah sujud kepada Pencipta-nya; pedang dukacita menembusi hati mereka yang mengasihi-Nya. Saat ini adalah saat rahmat bagi Abenadar; kuda tunggangannya gemetar di bawah pelananya; hati Abenadar tersentuh hebat; terkoyak bagaikan bukit karang. Ia melemparkan tombaknya jauh-jauh, menebah dadanya sembari berseru nyaring, “Terpujilah Allah Yang Mahatinggi, Allah Abraham, Allah Ishak, dan Allah Yakub. Sungguh, Orang ini adalah Putra Allah!” Kata-katanya ini membuat banyak dari antara para prajurit menjadi percaya; mereka mengikuti jejaknya dan dipertobatkan pula.
Sejak saat itu Abenadar menjadi seorang manusia baru; ia menyembah Allah yang benar, dan tak lagi mengabdi para musuh. Ia menyerahkan baik kuda maupun tombaknya kepada seorang bawahannya yang bernama Longinus, yang sesudah menyampaikan beberapa patah kata kepada para prajurit segera menunggangi kudanya dan mengambil alih pimpinan. Abenadar lalu meninggalkan Kalvari, melintasi Lembah Gihon menuju gua-gua di Lembah Hinnom, di mana para murid bersembunyi. Abenadar memaklumkan wafat Tuhan kita kepada mereka, lalu bersama-sama mereka pergi ke kota guna menemui Pilatus. Segera sesudah Abenadar memberikan kesaksian iman di hadapan publik akan keallahan Kristus, sejumlah besar prajurit mengikuti jejaknya, juga sebagian dari mereka yang menonton, dan bahkan segelintir kaum Farisi. Banyak orang menebah dada mereka, menangis dan pulang ke rumah; sementara yang lain mengoyak pakaian mereka dan menaburkan abu di atas kepala; semuanya dicekam ketakutan dan kengerian. Yohanes bangkit berdiri; beberapa perempuan kudus yang ada dekat sana menghampiri Santa Perawan dan membimbingnya pergi dari kaki Salib.
Ketika Yesus, Tuhan atas hidup dan mati, menyerahkan jiwa-Nya ke dalam tangan BapaNya, dan membiarkan maut menguasai tubuh-Nya, tubuh kudus ini gemetar dan sepenuhnya pucat pasi; luka-luka tak terhitung banyaknya, yang berlumuran darah beku, tampak bagaikan bilur-bilur hitam; pipi-Nya semakin cekung, hidungnya semakin tirus, dan kedua mata-Nya, yang kabur karena darah, tetap setengah terbuka. Ia mengangkat kepala-Nya yang lunglai, yang masih bermahkotakan duri, sekejap saja, lalu menjatuhkannya lagi dalam sengsara yang hebat; sementara bibir-Nya yang kering dan pecah-pecah, hanya sebagian terkatup, memperlihatkan lidahnya yang bengkak dan berdarah. Pada saat ajal, kedua tangan-Nya yang diregangkan paksa dengan paku-paku, terbuka dan kembali ke ukurannya yang normal, begitu pula lengan-lengan-Nya; tubuh-Nya menjadi kaku, berat beban tubuh-Nya sekarang bertumpu pada kaki, lutut-Nya tertekuk, dan kaki-Nya sedikit terpelintir ke satu sisi.
Sungguh malang, adakah kata-kata yang mampu mengungkapkan dukacita dahsyat Santa Perawan? Kedua matanya terkatup rapat, bayangan maut meliputi wajahnya; ia tak mampu berdiri, melainkan roboh ke atas tanah, tetapi segera tubuhnya dibangkitkan dan ditopang oleh Yohanes, Magdalena dan yang lainnya. Sekali lagi ia melayangkan pandangannya kepada Putranya terkasih - Putra yang dikandungnya dari Roh Kudus, daging dari dagingnya, tulang dari tulangnya, hati dari hatinya - tergantung di atas kayu salib di antara kedua penyamun; tersalib, hina, dijatuhi hukuman mati oleh mereka yang hendak diselamatkan-Nya dengan kedatangan-Nya ke dunia. Saat ini, amat tepatlah dikatakan bahwa Santa Perawan adalah “ratu para martir”.
Matahari masih tampak redup dan berselimut kabut; sepanjang masa gempa bumi, udara pengap dan panas, tetapi kini berangsur-angsur segar dan bersih kembali.
Kira-kira pukul tiga sore ketika Yesus wafat. Kaum Farisi pada mulanya amat cemas dengan adanya gempa; tetapi setelah goncangan pertama berakhir, mereka segera pulih dan mulai melemparkan batu-batu ke dalam jurang, berusaha mengukur kedalaman jurang menggunakan tali. Namun demikian, ketika mendapati bahwa mereka tak dapat mencapai dasarnya, mereka mulai tercenung, menyimak dengan seksama keluh-kesah para peniten yang meratap dan menebah dada mereka, lalu meninggalkan Kalvari. Banyak di antara mereka yang hadir di sana sungguh dipertobatkan, sebagian besar kembali ke Yerusalem diliputi ketakutan. Para prajurit Romawi disiagakan di pintu-pintu gerbang dan di bagian-bagian utama kota guna mencegah kemungkinan terjadinya huru-hara. Cassius tinggal di Kalvari bersama sekitar limapuluh prajurit. Para sahabat Yesus berdiri sekeliling Salib, memandangi Tuhan kita dan meratap-tangis; banyak di antara para perempuan kudus yang telah pulang ke rumah mereka, semuanya diam membisu diliputi duka.
Gempa Bumi ~
Penampakan Orang-orang Mati di Yerusalem
Aku melihat jiwa Yesus pada saat Ia wafat dalam rupa sebuah bola yang terang dengan disertai oleh para malaikat, di antaranya aku mengenali Malaikat Gabriel, yang menembus bumi di kaki Salib. Aku juga melihat malaikat-malaikat ini mencampakkan sejumlah roh-roh jahat ke dalam jurang yang dalam, dan aku mendengar Yesus memerintahkan sebagian jiwa-jiwa di limbo (= tempat penantian) untuk memasuki kembali jasad di mana mereka dulu tinggal, supaya penglihatan ini meliputi para pendosa dengan kengerian yang mempertobatkan, dan supaya jiwa-jiwa ini menyampaikan kesaksian yang sungguh atas ke-Allahan-Nya.
Gempa bumi dahsyat yang mengakibatkan terjadinya jurang dalam di Bukit Kalvari, juga mengakibatkan kerusakan parah di berbagai belahan Palestina lainnya, tetapi dampaknya yang paling fatal terjadi di Yerusalem. Penduduk Yerusalem baru saja mulai merasa sedikit tenang dengan kembalinya terang, ketika kengerian mereka dibangkitkan kembali dua kali lipat oleh goncangan gempa bumi hebat. Kegaduhan dan kekacauan akibat robohnya rumah-rumah dan tembok-tembok kota di segala penjuru menimbulkan kepanikan hebat; ditambah lagi dengan sekonyong-konyong munculnya orang-orang yang telah mati; jiwa-jiwa ini menghadang orang-orang berdosa yang gemetar, yang berlarian hendak menyembunyikan diri, dan menegur mereka dengan kata-kata kecaman yang tajam.
Para imam besar baru saja memulai kembali kurban anak domba Paskah (yang terhenti akibat kegelapan yang tiba-tiba), dan merasa menang atas kembalinya terang, ketika sekonyong-konyong tanah di mana mereka berpijak bergoncang hebat, bangunan-bangunan sekitar roboh dan tabir Bait Suci terkoyak menjadi dua dari atas hingga ke bawah. Kengerian dahsyat ini pada mulanya membuat mereka yang berada di luar terperangah dan terdiam kelu, tetapi sejenak kemudian mereka meledak dalam kesedihan dan ratap tangis. Namun demikian, kekacauan di bagian dalam Bait Allah, tidak segempar seperti yang dibayangkan, sebab tata-ibadat dan adat yang keras senantiasa diterapkan di sana, teristimewa sehubungan dengan ketetapan-ketetapan yang harus ditaati oleh mereka yang masuk untuk mempersembahkan kurban, dan mereka yang ke luar sesudah mempersembahkan kurban. Jumlah mereka sangat banyak, tetapi upacara-upacara dilakukan dengan khidmad oleh para imam, hingga mereka sepenuhnya memusatkan perhatian pada perayaan. Pertama, penyembelihan anak domba, lalu pemercikkan darahnya, diiringi nyanyian mazmur dan tiupan sangkakala. Para imam hendak melanjutkan upacara, ketika sekonyong-konyong terjadi jeda menggemparkan yang tak terduga; kengerian dan kecemasan terpancar di setiap wajah; semuanya diliputi kekalutan; tak suatu suara pun terdengar; kurban terhenti; terjadi aliran massa yang berlarian menuju gerbang-gerbang Bait Allah, masing-masing berusaha lari sekencang-kencangnya. Pantaslah mereka lari, pantaslah mereka ketakutan dan gemetar; sebab di tengah-tengah lautan massa tiba-tiba muncul orang-orang yang telah mati dan dikuburkan bertahun-tahun yang lalu! Jiwa-jiwa ini menatap mereka dengan tajam dan mengecam mereka dengan amat pedas atas segala kejahatan yang telah mereka lakukan pada hari itu, dalam mendatangkan kematian atas “Orang Benar” dan menimpakan darah-Nya atas mereka. Bahkan di tengah kekacauan ini, beberapa daya-upaya dilakukan oleh para imam guna menertibkan ibadat; para imam mencegah mereka yang berada di bagian dalam Bait Allah berlari keluar, imam-imam ini berusaha menerobos khalayak ramai yang berlarian di depan mereka, dan menurunkan anak-anak tangga yang menuju keluar Bait Allah: di beberapa tempat, para imam bahkan melanjutkan upacara kurban mereka dan berusaha menenangkan rakyat.
Keadaan Bait Allah pada saat itu hanya dapat digambarkan dengan memperbandingkannya dengan gundukan sarang semut yang dilempari orang dengan kerikil, atau diganggu dengan menusukkan sebatang tongkat ke dalamnya. Semut-semut yang berada di tempat di mana kerikil jatuh, atau ditusuk tongkat, diliputi kebingungan dan ketakutan, mereka berlarian kian-kemari tanpa berbuat apa-apa, sementara semut-semut yang berada di bagian-bagian lain yang tidak diganggu, terus bekerja dengan tenang, dan bahkan mulai memperbaiki bagian-bagian yang rusak.
Imam Besar Kayafas dan para pengikutnya tidak kehilangan akal, dengan ketenangan lahiriah yang mampu mereka pertahankan karena kekerasan hati mereka yang keji, mereka cukup berhasil meredakan kekacauan, dan kemudian mengusahakan segala daya upaya untuk mencegah rakyat beranggapan bahwa peristiwa-peristiwa yang menggemparkan ini merupakan bukti atas ketidakberdosaan Yesus. Pasukan Romawi yang ditugaskan di benteng Antonia juga berusaha sekuat tenaga menjaga ketenangan; dengan demikian, kekacauan perayaan tidak berlanjut dengan huru-hara, meskipun hati setiap orang dicekam ketakutan dan kecemasan, kecemasan yang oleh kaum Farisi berusaha (dan di beberapa kejadian berhasil) diredam.
Aku teringat akan beberapa peristiwa menggemparkan lainnya: pertama-tama, kedua pilar yang ditempatkan di pintu masuk ruang Yang Mahakudus dari Yang Kudus, di mana suatu tirai sakral digantungkan, digoncang hebat hingga ke dasarnya; pilar di sisi kiri roboh ke arah selatan, sementara pilar di sisi kanan roboh ke arah utara, dengan demikian mengoyakkan tabir menjadi dua dari atas sampai ke bawah disertai bunyi mengerikan, menyingkapkan ruang Yang Mahakudus dari Yang Kudus sehingga terlihat orang banyak. Sebuah batu besar terlepas dari tembok dan jatuh di pintu masuk tempat kudus, dekat tempat di mana Simeon tua biasa berlutut. Bangungan melengkung Bait Suci patah; tanah tercabut, dan banyak pilar-pilar lainnya yang roboh juga di bagian-bagian lain Bait Allah.
Penampakan Imam Besar Zakharia, yang dibantai antara serambi dan altar, terjadi di tempat kudus. Zakharia menyerukan ancaman-ancaman mengerikan, berbicara mengenai kematian Zakharia yang kedua* dan kematian St Yohanes Pembaptis, juga kematian-kematian keji para nabi lainnya. Kedua putera Imam Besar Simon, yang bermarga Adil (leluhur Simeon tua yang bernubuat atas Yesus ketika Ia dipersembahkan di Bait Allah), menampakkan diri di bagian yang biasanya ditempati oleh ahli-ahli Taurat, jiwa-jiwa itu juga berbicara dengan kata-kata ngeri mengenai kematian para nabi, mengenai kurban perjanjian lama yang sekarang akan segera berakhir, dan mereka mendesak semua yang hadir agar segera bertobat, agar memeluk ajaran-ajaran yang disampaikan oleh Dia yang mereka salibkan. Juga Nabi Yeremia menampakkan diri; ia berdiri dekat altar dan memaklumkan dalam nada suara mengancam, bahwa kurban yang lama sudah berakhir, dan bahwa kurban yang baru telah dimulai. Karena penampakan-penampakan ini terjadi di tempat-tempat di mana tak seorang pun terkecuali para imam diperkenankan masuk, maka hanya Kayafas dan segelintir imam saja yang menjadi saksi atasnya, tetapi sedapat mungkin mereka berusaha mengingkari ataupun merahasiakan penampakan. Fenomena-fenomena ini diikuti oleh fenomena lainnya yang lebih menggemparkan. Pintu-pintu tempat kudus terbuka dengan sendirinya dan terdengar suatu suara yang mengatakan: “Marilah kita meninggalkan tempat ini” dan aku melihat segenap malaikat Allah segera meninggalkan Bait Suci. Ketigapuluh dua kaum Farisi yang pergi ke Kalvari beberapa saat sebelum Tuhan kita wafat hampir semuanya dipertobatkan di kaki Salib. Mereka kembali ke Bait Allah di tengah kekacauan dan sama sekali tergoncang oleh segala sesuatu yang baru saja terjadi di sana. Mereka berbicara dengan tegas, baik kepada Hanas maupun Kayafas, dan meninggalkan Bait Allah. Hanas senantiasa merupakan musuh Yesus yang paling sengit, dialah yang memimpin segala daya upaya untuk menentang Yesus; tetapi peristiwa-peristiwa adikodrati yang terjadi sama sekali telah menggentarkannya hingga ia tak tahu lagi di mana harus bersembunyi. Sesungguhnya, Kayafas sangat gelisah dan diliputi kecemasan, tetapi kecongkakannya begitu besar hingga ia sedapat mungkin menyembunyikan perasaannya dan berusaha menenangkan Hanas. Untuk sesaat usaha Kayafas berhasil; tetapi penampakan sekonyong-konyong dari seorang yang telah lama mati menjadikan kata-katanya sia-sia belaka, dan Hanas kembali diliputi kengerian dan rasa sesal yang hebat.
* Zakharia yang dimaksud di sini adalah bapa Yohanes Pembaptis yang disiksa dan kemudian dibunuh oleh Herodes, sebab Zakharia tidak bersedia menyerahkan Yohanes ke dalam tangan penguasa yang lalim. Zakharia dimakamkan oleh para sahabatnya di halaman Bait Allah.
Sementara hal-hal ini terjadi di Bait Suci, kekacauan dan kepanikan yang hebat juga terjadi di Yerusalem. Orang-orang mati berkeliaran, banyak tembok dan bangunan-bangunan digoncang gempa, sebagian di antaranya roboh. Takhayul Pilatus menjadikannya terlebih lagi ketakutan; ia sama sekali lumpuh dan kelu lidah karena ketakutan, istananya digoncang hingga ke dasarnya dan tanah berderak retak di bawah kakinya. Ia berlarian dengan kalut dari satu ruang ke ruang lainnya, orang-orang mati terus-menerus menghadang, mengecamnya atas hukuman tak adil yang ia jatuhkan atas Yesus. Pilatus menyangka bahwa jiwa-jiwa itu adalah para dewa orang Galilea, karenanya ia bersembunyi di ruangan bagian dalam, di mana ia membakar dupa dan mengikat janji dengan berhala-berhalanya guna memohon pertolongan mereka dalam kesesakan. Herodes sama gelisahnya; tetapi ia mengurung diri di istana, sehingga tak terlihat oleh siapa pun.
Lebih dari seratus orang yang telah mati dari masa-masa yang berbeda, memasuki kembali jasad yang dulu mereka kenakan semasa di dunia, menampakkan diri di berbagai tempat di Yerusalem, dan menimbulkan ketakutan yang tak terlukiskan di kalangan penduduk. Jiwa-jiwa ini, yang telah dibebaskan Yesus dari limbo, menyingkapkan wajah mereka dan berkeliaran di jalan-jalan, dan meskipun raga mereka sama seperti yang dulu mereka kenakan semasa di dunia, namun raga-raga ini tampaknya tidak menyentuh tanah sementara mereka berjalan. Jiwa-jiwa memasuki rumah-rumah keturunan mereka, memaklumkan ketidakberdosaan Yesus, dan mencela dengan keras mereka yang ambil bagian dalam wafat-Nya. Aku melihat jiwa-jiwa ini melintasi jalan-jalan utama; pada umumnya mereka berpasang-pasangan; dan tampak bagiku seolah melayang di udara tanpa menggerakkan kaki mereka. Wajah sebagian dari jiwa-jiwa ini berwarna putih pucat; sebagian lainnya berwarna kekuningan, jenggot mereka panjang dan suara mereka kedengaran aneh dan sumbang. Pakaian kubur mereka sama seperti yang biasa dikenakan pada masa mereka meninggal. Ketika jiwa-jiwa itu tiba di tempat di mana hukuman mati dimaklumkan atas Yesus sebelum arak-arakan menuju Kalvari, mereka berhenti sejenak dan berseru dengan suara nyaring, “Kemuliaan bagi Yesus untuk selama-lamanya, binasalah para musuh-Nya!” Menjelang pukul empat, orang-orang mati ini kembali ke kubur mereka. Kurban di Bait Allah telah begitu dikacaukan, dan kekalutan akibat berbagai fenomena ini begitu hebat, hingga sedikit saja orang yang makan anak domba Paskah sore itu.
Yusuf dari Arimatea Meminta Jenazah Yesus
Baru saja kegemparan yang terjadi di kota mulai mereda ketika orang-orang Yahudi anggota sidang mengirimkan permohonan kepada Pilatus agar kaki-kaki para penjahat dipatahkan, supaya nyawa mereka diakhiri sebelum hari Sabat tiba. Pilatus segera mengirimkan para algojo ke Kalvari guna meluluskan permohonan mereka.
Yusuf dari Arimatea lalu mohon menghadap Pilatus, mengatakan bahwa ia mendengar Yesus telah wafat dan ia bersama Nikodemus memutuskan untuk memakamkan Yesus di sebuah makam baru yang dibuat di belakang taman miliknya, tak jauh dari Kalvari. Pilatus masih diliputi kecemasan dan kegelisahan, ia sangat tercengang melihat seorang berkedudukan tinggi seperti Yusuf begitu antusias pergi memakamkan dengan hormat seorang penjahat yang dijatuhinya hukuman mati dengan salib yang hina. Pilatus minta agar segera dipanggil kepala pasukan, Abenadar, yang kembali ke Yerusalem setelah bertukar pikiran dengan para murid yang bersembunyi di gua-gua. Pilatus bertanya kepadanya apakah Raja Orang Yahudi sungguh sudah mati. Abenadar menceritakan secara terperinci kepada Pilatus mengenai wafat Tuhan kita, kata-kata-Nya yang terakhir, seruan nyaring yang Ia serukan tepat sebelum wafat-Nya, dan gempa bumi yang membelah bukit karang dan membuat jurang yang dalam di sana. Satu-satunya hal yang membuat Pilatus terheran adalah bahwa kematian Yesus terjadi begitu cepat, sebab mereka yang disalibkan biasanya mampu bertahan hidup lebih lama. Walau ia tidak banyak bicara, namun setiap kata yang diucapkan Yusuf membangkitkan kegelisahan dan rasa sesal dalam diri Pilatus. Segera Pilatus memberikan instruksi kepada Yusuf, dengan mana Yusuf memperoleh wewenang untuk menurunkan jenazah Raja Orang Yahudi dari Salib dan melaksanakan ritual pemakaman. Dengan kesediaannya mengabulkan permohonan Yusuf, tampaknya Pilatus berusaha untuk memperbaiki tindakannya yang keji dan tidak adil, pula ia sangat senang melakukan hal yang ia tahu pasti akan sangat menjengkelkan para imam, sebab ia tahu para imam menghendaki agar Yesus dimakamkan secara hina di antara kedua penyamun. Pilatus mengirimkan seorang utusan ke Kalvari guna memastikan instruksinya dilaksanakan. Aku yakin bahwa utusan tersebut adalah Abenadar, sebab aku melihatnya membantu menurunkan jenazah Yesus dari atas Salib.
Begitu meninggalkan istana Pilatus, Yusuf dari Arimatea segera bergabung kembali dengan Nikodemus, yang telah menantinya di rumah seorang perempuan saleh, yang terletak di seberang suatu jalan besar, tak jauh dari jalan setapak di mana Yesus diperlakukan begitu keji ketika Ia mulai memanggul SalibNya. Perempuan itu seorang pedagang rempah-rempah harum, darinya Nikodemus membeli banyak wangi-wangian yang diperlukan untuk mengurapi jenazah Yesus. Perempuan itu mendapatkan rempah-rempah yang mahal dari berbagai tempat lain; Yusuf pergi membeli kain lenan yang baik mutunya. Para hamba Yusuf mengambil tangga, palu dan martil, pasak, tempayan-tempayan air serta bunga-bunga karang dari sebuah gudang dekat sana, lalu menempatkan barang-barang itu dalam sebuah tandu serupa dengan tandu di mana jenazah Yohanes Pembaptis dibaringkan oleh para muridnya saat mereka membawanya pergi dari Benteng Makerus.
Lambung Yesus Ditikam ~
Matinya Kedua Penyamun
Sementara kekacauan dan kepanikan terjadi di Yerusalem, keheningan meraja sekeliling Kalvari. Khalayak ramai yang tadinya begitu hiruk-pikuk dan berteriak riuh-rendah sekarang sudah tidak ada lagi; semuanya dicekam kepanikan. Di beberapa tempat, kepanikan itu membuahkan pertobatan yang tulus, sementara di beberapa tempat lainnya tak mendatangkan kebajikan sama sekali. Bunda Maria, Yohanes, Magdalena, Maria Kleopas dan Salome tetap tinggal, sebagian berdiri dan yang lain duduk di hadapan Salib, berkerudung rapat dan menangis diam-diam. Beberapa prajurit beristirahat di serambi yang mengelilingi bukit karang; Cassius menunggangi kudanya turun naik bukit. Langit tampak gelap, segenap alam raya berselubung duka. Enam prajurit pembantu segera muncul dengan membawa tangga, sekop, tali-temali dan alat pemukul dari besi yang besar untuk mematahkan kaki-kaki para penjahat guna mempercepat kematian mereka. Ketika mereka menuju Salib Tuhan kita, para sahabat Yesus mundur beberapa langkah. Santa Perawan dicekam ketakutan kalau-kalau mereka masih hendak melampiaskan kekejian mereka pada Putranya dengan menista tubuh-Nya yang telah tak bernyawa. Ketakutan Bunda Maria bukannya tanpa alasan, sebab ketika pertama-tama mereka menyandarkan tangga pada Salib, mereka mengatakan bahwa Yesus hanya berpura-pura mati. Namun, beberapa saat kemudian, ketika mendapati tubuh-Nya telah dingin dan kaku, mereka membiarkan-Nya dan memindahkan tangga-tangga mereka ke salib di mana kedua penyamun masih tergantung hidup. Mereka mengambil alat pemukul besi dan mematahkan lengan kedua penyamun, di atas dan di bawah siku; sementara pada saat yang sama, seorang prajurit pembantu lainnya mematahkan kaki-kaki mereka, di atas dan di bawah lutut. Gesmas meneriakkan seruan-seruan yang mengerikan, sebab itu algojo menghabisi nyawanya dengan tiga pukulan gada yang mematikan di dadanya. Dismas mengerang dalam-dalam dan wafat: ia menjadi yang pertama di antara makhluk fana yang menikmati kebahagiaan bersatu dengan Penebus-nya. Tali-temali kemudian dilepaskan, kedua mayat jatuh bergelimpangan ke atas tanah, para algojo menyeretnya ke sebuah rawa yang dalam, yang terletak antara Kalvari dan tembok kota, serta menguburkannya di sana.
Para prajurit pembantu masih tampak ragu apakah Yesus sungguh sudah mati. Kebrutalan yang mereka perlihatkan dalam mematahkan kaki-kaki para penyamun membuat para perempuan kudus menggigil ketakutan membayangkan kekejian yang akan mereka lampiaskan kepada tubuh Tuhan kita. Tetapi Cassius, wakil kepala pasukan, seorang pemuda berusia sekitar duapuluh lima tahun, yang kedua mata julingnya dan sikapnya yang gugup seringkali menjadi bahan olok-olok rekan-rekannya, tiba-tiba diterangi rahmat Allah, ia diliputi rasa belas kasihan melihat kekejian sikap para prajurit dan dukacita pilu para perempuan kudus, karenanya ia memutuskan untuk melenyapkan rasa cemas para perempuan malang itu dengan membuktikan tanpa berdebat bahwa Yesus sungguh telah wafat. Kebaikan hatinya mendorong Cassius bertindak demikian, tetapi tanpa disadari oleh dirinya, ia menggenapi suatu nubuat. Cassius menyambar tombaknya dan bergegas menunggangi kudanya naik ke bukit karang di mana Salib dipancangkan, berhenti tepat di antara salib penyamun yang baik dan Salib Tuhan kita, mengayunkan tombak dengan kedua belah tangannya, menikamkan tombak dalam-dalam ke lambung kanan Yesus hingga ujung tombak menembusi hati Yesus dan muncul di sisi kiri. Ketika Cassius mencabut tombaknya, dari lambung Yesus yang menganga memancarlah darah dan air, yang membasahi sekujur tubuh dan wajahnya. Pembasuhan ini mendatangkan buah-buah yang sama dengan buah-buah dari air Sakramen Baptis, yaitu: rahmat dan keselamatan yang saat itu juga masuk ke dalam jiwanya. Ia meloncat dari kudanya, jatuh berlutut, menebah dadanya, dan memaklumkan dengan suara nyaring imannya yang teguh akan ke-Allah-an Yesus di hadapan semua yang hadir.
Santa Perawan dan para sahabatnya masih tetap berdiri dekat sana, dengan mata menatap lekat pada Salib, tetapi ketika Cassius menghujamkan tombaknya ke lambung Yesus, mereka terhenyak, lalu serentak bergegas lari mendekat. Bunda Maria tampak seolah tombak telah menembusi hatinya sendiri, daripada hati Putra Ilahinya, ia nyaris tak sanggup menopang tubuhnya sendiri. Sementara itu Cassius terus berlutut sembari mengucap syukur kepada Tuhan, bukan hanya karena segala rahmat yang telah ia terima, melainkan juga karena mukjizat penyembuhan pada kedua matanya, yang tadinya lemah dan juling. Penyembuhan ini terjadi tepat pada saat kegelapan yang memenuhi jiwanya disingkirkan. Setiap hati terpesona memandang darah Tuhan kita yang mengalir ke suatu lekuk di bukit karang di kaki Salib. Bunda Maria, Yohanes, para perempuan kudus dan Cassius mengumpulkan darah dan air Yesus dalam bejana-bejana, dan menyeka sisanya dengan potongan-potongan kain lenan.*
*Sr Emmerick menambahkan: “Cassius dibaptis dengan nama Longinus, ditahbiskan sebagai diakon dan mewartakan iman. Ia senantiasa menyimpan sedikit darah Kristus, - darah yang sudah mengering itu ditemukan dalam peti jenazahnya di Italia. Longinus dimakamkan di suatu kota tak jauh dari tempat di mana St Klara melewatkan hidupnya. Terdapat sebuah danau dengan pulau di atasnya dekat kota ini, pastilah jenazah Longinus dibawa ke sana.” Tampaknya yang dimaksud Sr Emmerick dengan gambaran tersebut adalah kota Mantua, tradisi di kota Mantua menceritakan hal yang sama. Aku tidak tahu St Klara yang mana yang tinggal di daerah itu.
Cassius, yang penglihatannya disembuhkan total bersamaan dengan dibukanya mata jiwanya, sangat tergerak hatinya, ia terus memanjatkan doa syukur dengan segala kerendahan hati. Para prajurit amat takjub dengan mukjizat yang terjadi, mereka berlutut di samping Cassius seraya menebah dada mereka dan menyatakan iman kepada Yesus. Air dan darah terus memancar dari luka menganga di lambung Tuhan kita; mengalir ke dalam suatu lekuk di bukit karang, para perempuan kudus menyimpannya dalam bejana-bejana, sementara Bunda Maria dan Magdalena menetesinya pula dengan airmata mereka. Para prajurit pembantu, yang telah menerima instruksi dari Pilatus untuk tidak menyentuh jenazah Yesus, telah pergi dan tidak kembali lagi.
Segala peristiwa ini terjadi dekat Salib menjelang pukul empat sore, pada saat Yusuf dari Arimatea dan Nikodemus bersama mengumpulkan segala barang yang diperlukan untuk pemakaman Yesus. Para hamba Yusuf, yang diutus untuk membersihkan makam, menyampaikan kepada para sahabat Tuhan kita bahwa tuan mereka bermaksud mengambil jenazah Yesus dan memakamkan-Nya di makam yang baru. Yohanes segera kembali ke kota bersama para perempuan kudus agar Bunda Maria dapat sedikit pulih kekuatannya. Kemudian Yohanes membeli beberapa barang yang diperlukan untuk pemakaman. Bunda Maria beristirahat di suatu penginapan kecil yang terletak di antara bangunan-bangunan dekat Senakel. Mereka tidak masuk kembali ke kota lewat gerbang yang paling dekat Kalvari, sebab gerbang ditutup dan dijaga oleh para prajurit yang disiagakan di sana oleh kaum Farisi, karenanya mereka pergi lewat gerbang yang menuju ke Betlehem.
Gambaran akan Sebagian Kota Yerusalem Kuno
Bab ini berisi gambaran akan sebagian tempat di kota Yerusalem kuno, seperti dikisahkan oleh Sr Emmerick dalam berbagai kesempatan. Selanjutnya akan diberikan pula gambaran akan makam dan taman Yusuf dari Arimatea, agar kita tidak perlu menginterupsi kisah pemakaman Tuhan kita.
Gerbang pertama yang ada di sisi timur Yerusalem, sebelah selatan dari sudut tenggara Bait Allah, adalah gerbang yang menuju ke pinggiran kota Ophel. Gerbang domba berada di sebelah utara dari sudut timurlaut Bait Allah. Di antara kedua gerbang ini terdapat gerbang ketiga, yang menuju ke jalan-jalan yang terletak di sebelah timur Bait Allah, sebagian besar wilayah ini penduduknya adalah tukang batu dan buruh kasar lainnya. Rumah-rumah di jalanan ini disangga oleh pondasi Bait Allah; dan hampir seluruhnya milik Nikodemus, yang mendirikannya dan yang mempekerjakan hampir seluruh pekerja yang tinggal di sana. Belum lama berselang, Nikodemus membangun suatu gerbang yang indah sebagai pintu masuk ke jalan-jalan ini, yang disebut Gerbang Moriah. Melalui gerbang yang baru saja selesai dibangun ini Yesus memasuki kota pada hari Minggu Palma. Demikianlah Yesus memasuki Yerusalem lewat gerbang baru milik Nikodemus, yang belum pernah dilalui orang; dan dimakamkan di makam baru milik Yusuf dari Arimatea, di mana belum pernah seorang pun dimakamkan di dalamnya. Di kemudian hari, gerbang ditutup dengan tembok; ada tradisi yang mengatakan bahwa umat Kristiani akan sekali lagi memasuki kota melaluinya. Bahkan di masa sekarang, suatu gerbang yang ditutup tembok, yang disebut oleh orang-orang Turki sebagai Gerbang Emas, berdiri di tempat ini.
Jalanan yang menuju ke barat dari gerbang domba melintasi hampir tepat di antara sisi baratlaut Bukit Sion dan Kalvari. Dari gerbang ini ke Golgota, jaraknya sekitar dua seperempat mil; dari istana Pilatus ke Golgota jaraknya sekitar dua mil. Benteng Antonia terletak di sebelah baratlaut bukit Bait Allah, di suatu bukit karang yang terpisah. Seorang yang pergi ke arah barat dari istana Pilatus, akan mendapati benteng ini di sisi kirinya. Di salah satu temboknya terdapat suatu podium di atas forum; dari sinilah Pilatus biasa menyampaikan maklumat kepada rakyat: misalnya ketika ia memaklumkan hukum-hukum baru. Ketika Tuhan Allah kita memanggul Salib-Nya di bagian dalam kota, Bukit Kalvari pada umumnya berada di sebelah kanan-Nya. Jalan ini, yang sebagian mengarah ke baratdaya, menghantar ke suatu gerbang yang dibuat dalam tembok kota, menuju Sion. Di atas tembok ini, di sebelah kiri, terdapat semacam daerah pinggiran dengan lebih banyak taman-taman daripada rumah-rumah; ke arah tembok kota sebelah luar terdapat beberapa makam yang sangat indah dengan pintu masuk dari batu. Di sisi inilah berdiri rumah milik Lazarus, dengan taman-taman yang indah, terhampar hingga bagian di mana tembok barat Yerusalem berbelok ke selatan. Aku yakin bahwa sebuah pintu kecil milik pribadi, yang dibuat di tembok kota, di mana Yesus dan para murid-Nya sering keluar masuk seijin Lazarus, menuju ke taman-taman ini. Gerbang yang berdiri di sudut baratlaut kota menuju ke Bethsur, yang terletak lebih ke arah utara daripada Emaus dan Joppa. Bagian barat Yerusalem lebih rendah dari daerah-daerah lainnya: tanah pada awalnya melandai ke arah tembok yang mengelilinginya, lalu naik lagi ketika dekat dengannya, di lereng yang melandai ini terdapat banyak taman dan kebun anggur, di belakangnya terdapat sebuah jalan lebar yang berkelok-kelok, dengan jalan-jalan setapak menuju ke tembok-tembok dan menara-menara. Di sisi yang lain, tanpa tembok, tanah menurun ke arah lembah, sehingga tembok-tembok yang mengelilingi bagian kota yang rendah tampak seolah dibangun di atas sebuah serambi yang tinggi. Terdapat banyak taman dan kebun anggur, bahkan hingga masa sekarang, di bukit sebelah luar. Ketika Yesus tiba di akhir Jalan Salib, di sebelah kiri-Nya adalah bagian kota di mana terdapat begitu banyak taman; dari sanalah Simon dari Kirene muncul saat ia berpapasan dengan arak-arakan. Gerbang dengan mana Yesus meninggalkan kota, tidak sepenuhnya menghadap ke barat, melainkan agak ke baratdaya. Tembok kota di sebelah kiri, setelah melewati gerbangnya, mengarah agak ke selatan, lalu berbelok ke barat, dan berbelok lagi ke selatan, mengitari Bukit Sion. Di sisi ini berdiri sebuah menara besar bagaikan benteng. Gerbang dengan mana Yesus meninggalkan kota tak jauh letaknya dari suatu gerbang lain yang lebih mengarah ke selatan, menurun menuju lembah, di mana suatu jalanan yang membelok ke kiri menuju Betlehem dimulai. Jalan berbelok ke utara menuju Bukit Kalvari segera sesudah gerbang dengan mana Yesus meninggalkan Yerusalem ketika memanggul SalibNya. Bukit Kalvari amat curam di sisi sebelah timurnya, menghadap ke kota, dan melandai di sebelah barat; di sisi ini, darimana jalan ke Emaus terlihat, terdapat suatu lapangan, di mana aku melihat Lukas mengumpulkan beberapa tanam-tanaman ketika ia dan Kleopas sedang dalam perjalanan ke Emaus dan berjumpa dengan Yesus di tengah jalan. Dekat tembok, ke arah timur dan selatan Kalvari, terdapat juga taman-taman, makam-makam dan kebun-kebun anggur. Salib dipancangkan di sebelah timurlaut, di kaki Bukit Kalvari.
Taman milik Yusuf dari Arimatea* terletak dekat gerbang Betlehem, sekitar tujuh menit jalan kaki dari Kalvari: suatu taman yang sangat indah, dengan pepohonan yang tinggi menjulang, tepian sungai, dan semak-belukar, yang memberikan keteduhan dan kesejukan, terletak di permukaan tanah yang tinggi dan terhampar hingga ke tembok-tembok kota. Seorang yang datang dari sebelah utara lembah dan memasuki taman, akan mendapati di sisi kirinya permukaan tanah yang sedikit lebih tinggi, yang terhampar hingga ke tembok kota; sementara di sisi kanannya, di bagian belakang taman, terdapat suatu bukit karang terpisah, di mana gua makam terletak. Grotto, di mana makam dibuat, menghadap ke timur; di sisi baratdaya dan baratlaut dari bukit karang yang sama terdapat dua makam lain yang lebih kecil, yang juga baru, dengan serambi duka. Suatu jalan setapak, yang bermula dari sisi barat bukit ini, mengitarinya. Permukaan tanah di depan makam lebih tinggi dari pintu masuk ke makam, sehingga seorang yang hendak masuk ke dalam gua harus turun beberapa langkah. Gua tersebut cukup luas bagi empat laki-laki dewasa untuk berdiri berdekatan di sisi-sisi temboknya tanpa saling mengganggu gerak tubuh masing-masing. Di seberang pintu terdapat suatu rongga di bukit karang, di mana makam dibuat; makam itu sekitar dua kaki di atas permukaan tanah dan dipasangkan pada bukit batu hanya pada satu sisinya, bagaikan sebuah altar: dua orang dapat berdiri, satu di bagian kepala dan satu di bagian kaki; ada juga ruang bagi orang ketiga di depan, bahkan jika pintu rongga makam ditutup. Pintu ini terbuat dari logam, mungkin kuningan, dengan dua pintu lipat. Pintu-pintu ini dapat ditutup dengan menggulingkan sebuah batu besar di depannya; batu yang dipergunakan untuk maksud ini diletakkan di luar gua. Segera setelah Tuhan kita dibaringkan dalam makam, batu digulingkan di depan pintunya. Batu itu sangat besar, tak mungkin dipindahkan tanpa daya tenaga beberapa orang laki-laki. Di seberang pintu masuk gua terdapat sebuah bangku batu, dengan naik di atas bangku ini seorang dapat memanjat bukit batu yang diselimuti rerumputan, darimana tembok-tembok kota, bagian-bagian tertinggi Bukit Sion, serta beberapa menara dapat terlihat, juga gerbang Betlehem dan air terjun Gihon. Bagian dalam bukit karang berwarna putih, dengan galur-galur merah dan biru.
* Patut kita perhatikan di sini bahwa sepanjang empat tahun selama Sr Emmerick menerima anugerah penglihatan, ia menggambarkan segala sesuatu yang telah terjadi pada tempat-tempat suci sejak dari masa silam hingga ke masa sekarang. Lebih dari sekali ia menyaksikan tempat-tempat itu dicemarkan dan dirusak, namun demikian senantiasa dihormati, baik secara umum maupun perorangan. Ia melihat banyak bebatuan maupun karang yang merupakan saksi bisu atas Sengsara dan Kebangkitan Tuhan kita, ditempatkan oleh St Helena dalam Gereja Makam Suci pada saat pendirian bangunan suci tersebut. Ketika Sr Emmerick mengunjunginya dalam roh, ia biasa menghormati tempat-tempat di mana Salib dipancangkan dan Makam Suci terletak. Namun demikian perlu diperhatikan bahwa terkadang ia mendapati jarak yang lebih jauh antara posisi Makam yang sesungguhnya dengan tempat di mana Salib dipancangkan daripada jarak antara kedua kapel yang menyandang nama tersebut dalam gereja di Yerusalem.
Tubuh Yesus Diturunkan dari Salib
Pada saat semua orang telah meninggalkan daerah sekitar Salib, dan hanya beberapa prajurit saja yang masih berjaga di sana, aku melihat lima orang, yang aku pikir adalah para murid yang datang dari Betania dengan melintasi lembah. Mereka mendekati Kalvari, memandang beberapa saat lamanya ke arah Salib, dan kemudian pergi diam-diam. Di Kalvari, tiga kali aku bertemu dengan dua orang yang sedang melakukan pemeriksaan dan dengan bersemangat saling bertukar pikiran. Kedua orang ini adalah Yusuf dari Arimatea dan Nikodemus. Pertama kali adalah saat Penyaliban (mungkin ketika mereka berusaha mendapatkan kembali pakaian Yesus dari para prajurit); mereka berada tak jauh dari Kalvari. Kedua kalinya adalah ketika, setelah melihat apakah khalayak ramai telah pergi, mereka pergi ke makam guna melakukan persiapan. Ketiga kalinya adalah ketika mereka kembali dari makam ke tempat Salib berada, saat mereka mengamat-amati sekeliling dengan seksama, seolah menanti saat yang tepat, lalu saling merundingkan bagaimana sebaiknya mereka menurunkan tubuh Tuhan kita dari Salib; sesudah itu mereka kembali ke kota.
Perhatian mereka selanjutnya adalah melakukan persiapan untuk membawa segala barang yang diperlukan untuk mengurapi tubuh Yesus. Para hamba mereka membawa serta perkakas untuk melepaskan tubuh Yesus dari Salib, juga dua tangga yang mereka temukan di suatu gudang dekat rumah Nikodemus. Masing-masing tangga terdiri dari sepotong galah, yang pada jarak-jarak tertentu dipasangi palang-palang kayu melintang, sehingga membentuk anak-anak tangga. Terdapat kait-kait yang dapat ditancapkan di bagian mana saja pada galah. Kait-kait ini berfungsi untuk memperkokoh tangga, atau pun juga, mungkin, sebagai cantelan untuk menggantungkan barang-barang yang diperlukan untuk bekerja.
Perempuan, dari mana Yusuf dan Nikodemus membeli rempah-rempah, telah membungkus semuanya dengan rapi. Nikodemus telah membeli seratus pon akar-akaran, yang jumlahnya kurang lebih setara dengan tigapuluh tujuh pon ukuran kita, seperti yang telah dijelaskan kepadaku. Mereka membawa rempah-rempah itu dalam tong-tong kecil yang terbuat dari kulit kayu, yang mereka gantungkan sekeliling leher mereka dan menempel di dada mereka. Satu di antara tong-tong ini berisi semacam bubuk. Ada pula beberapa kantong ramu-ramuan dalam tas-tas yang terbuat dari perkamen atau kulit; Yusuf membawa sekotak minyak urapan, tetapi aku tidak tahu dari bahan apa kotak itu dibuat. Para hamba membawa bejana-bejana, botol-botol kulit, bunga-bunga karang dan perkakas dalam semacam tandu; pula mereka membawa api dalam sebuah lentera tertutup. Mereka pergi meninggalkan kota mendahului tuan mereka, melalui suatu gerbang lain (mungkin gerbang Betania), lalu mengarahkan langkah-langkah mereka menuju Bukit Kalvari. Sementara berjalan melintasi kota, mereka melewati rumah di mana Santa Perawan, St Yohanes, dan para perempuan kudus pergi untuk mencari barang-barang lainnya yang diperlukan untuk mengurapi tubuh Yesus. Dalam jarak tertentu, Yohanes dan para perempuan kudus mengikuti para hamba itu. Para perempuan kudus berjumlah kurang lebih lima orang, sebagian dari mereka dengan balutan-balutan tebal kain lenan di bawah mantol mereka. Merupakan kebiasaan para perempuan, apabila mereka keluar pada sore hari, atau jika bermaksud hendak melakukan suatu tindak kesalehan secara diam-diam, mereka membalut tubuh mereka dengan seksama dengan kain panjang yang lebarnya sekurang-kurangnya satu yard. Mereka mulai dengan satu tangan, lalu membalutkan kain lenan rapat-rapat sekeliling tubuh mereka hingga mereka tidak dapat berjalan tanpa kesulitan. Aku melihat mereka terbungkus rapat seperti ini, dan kain itu tidak hanya dibalutkan hingga ke kedua tangan, tetapi juga menyelubungi kepala mereka. Pada masa sekarang, busana semacam ini amat mencolok mata, sungguh suatu busana duka. Yusuf dan Nikodemus juga dalam busana kabung; mereka mengenakan busana berlengan hitam dan ikat pinggang lebar. Jubah mereka, yang mereka tudungkan ke atas kepala, lebar dan panjang, berwarna abu-abu, berfungsi pula untuk menyembunyikan segala yang mereka bawa.
Mereka mengarahkan langkah-langkah menuju gerbang yang menghantar ke Bukit Kalvari. Jalanan sepi dan lengang, kengerian yang baru saja terjadi membuat semua orang tinggal di rumah. Sebagian besar dari antara mereka mulai bertobat, namun hanya sedikit yang merayakan Paskah. Ketika Yusuf dan Nikodemus tiba di gerbang kota, mereka mendapati gerbang ditutup, para prajurit berjajar sepanjang jalan-jalan serta tikungan-tikungan. Mereka ini adalah para prajurit yang diminta kaum Farisi sekitar pukul dua tadi, yang ada dalam kuasa dan wewenang mereka, sebab mereka masih takut kalau-kalau terjadi huru-hara di antara rakyat. Yusuf menunjukkan surat perintah yang ditandatangani Pilatus agar mereka dapat lewat dengan bebas. Para prajurit dengan senang hati akan mempersilakan, tetapi mereka menjelaskan kepadanya bahwa telah beberapa kali mereka berusaha membuka pintu gerbang, namun gerbang sama sekali tak bergeming, tampaknya gerbang terimbas gempa dan macet di suatu bagian; karena hal ini, para prajurit pembantu yang dikirim untuk mematahkan kaki-kaki para penjahat terpaksa kembali ke kota lewat gerbang yang lain. Tetapi ketika Yusuf dan Nikodemus mengulurkan tangan meraih palangnya, pintu gerbang terbuka seolah dengan sendirinya, sehingga mereka semua yang menyaksikannya amat tercengang.
Hari masih gelap dan langit mendung ketika Yusuf dan Nikodemus tiba di Bukit Kalvari. Para hamba yang diutus berangkat terlebih dahulu telah tiba dan para perempuan kudus sedang duduk menangis di depan Salib. Cassius dan beberapa prajurit yang telah dipertobatkan tetap berada dalam jarak tertentu dengan sikap penuh hormat dan santun. Yusuf dan Nikodemus menceriterakan kepada Santa Perawan dan Yohanes segala daya upaya yang telah mereka lakukan demi menyelamatkan Yesus dari kematian yang keji dan hina; sebaliknya mereka mendengarkan dari lawan bicaranya bagaimana mereka berhasil mencegah tulang-tulang Tuhan kita dipatahkan, dan bagaimana nubuat telah digenapi. Mereka juga bercerita mengenai luka yang dibuat Cassius dengan tombaknya. Segera setelah kepala pasukan Abenadar tiba, mereka memulai dengan penuh khidmad dan hormat, tindakan saleh menurunkan tubuh mengagumkan Tuhan kita dari Salib dan mengurapinya.
Santa Perawan dan Magdalena duduk di kaki Salib; sementara di sebelah kanan, antara salib Dismas dan Salib Yesus, para perempuan kudus sibuk mempersiapkan kain lenan, rempah-rempah, air, bunga-bunga karang dan bejana-bejana. Cassius juga datang mendekat dan menceriterakan kepada Abenadar mukjizat penyembuhan matanya. Semua yang hadir tampak begitu terharu, hati mereka diliputi dukacita dan belas kasih; namun, pada saat yang sama, mereka tetap menjaga keheningan yang khusuk, setiap gerak-gerik mereka penuh kesalehan dan hormat. Tak suatu pun memecah keheningan, terkecuali ungkapan duka tertahan atau desahan tertahan yang sesekali terlontar dari salah satu pribadi kudus ini, kendati niat sungguh dan perhatian penuh yang mereka curahkan dalam melakukan tindakan saleh ini. Magdalena tak sanggup lagi mengendalikan dukacitanya, tampaknya ia tak ambil pusing akan kehadiran begitu banyak orang maupun akan tanggapan orang atas dirinya.
Nikodemus dan Yusuf menyandarkan tangga-tangga ke belakang Salib dan memanjatnya, sementara dalam tangannya mereka membawa sehelai kain lebar di mana dipasang tiga tali pengikat yang panjang. Mereka mengikatkan tubuh Yesus, mulai dari bagian bawah kedua lengan hingga ke lutut, pada palang Salib dengan tali-tali pengikat, dan menahan kedua lengan dengan mengikatkannya pada lengan Salib dengan kain-kain lenan. Lalu mereka melepaskan paku-paku dengan mendorong paku-paku itu dari belakang menggunakan pasak-pasak kuat yang dihantamkan ke ujung-ujung paku. Dengan demikian, tangan-tangan kudus Yesus tidak banyak terkoyak dan paku-paku dengan mudah berjatuhan dari luka-luka-Nya; sebab luka-luka-Nya telah semakin melebar oleh sebab berat beban tubuh-Nya, yang sekarang ditopang dengan kain dan tidak lagi tergantung pada paku. Bagian bawah tubuh, yang sejak wafat Tuhan kita telah melorot ke lutut, sekarang beristirahat dalam posisi normal, dengan disangga oleh kain yang diikatkan ke lengan-lengan Salib. Sementara Yusuf melepaskan paku dari tangan kiri, dan lalu membiarkan tangan kiri, dengan diselubungi oleh kainnya, jatuh dengan lembut ke atas tubuh-Nya, Nikodemus mengikatkan lengan kanan Yesus pada palang Salib, juga kepala kudus yang bermahkotakan duri, yang terkulai ke bahu kanan. Lalu ia melepaskan paku kanan, dan setelah menyelubungi lengan dengan kain penyangganya, membiarkan tangan itu jatuh dengan lembut ke atas tubuh-Nya. Pada saat yang sama, kepala pasukan Abenadar, dengan bersusah-payah melepaskan paku besar yang menembusi kedua kaki Yesus. Cassius dengan saleh dan hormat menerima paku-paku itu dan meletakkannya di depan kaki Santa Perawan.
Setelah menyandarkan tangga-tangga ke bagian depan Salib dengan posisi nyaris tegak lurus dan dekat dengan tubuh Yesus, Yusuf dan Nikodemus melepaskan tali pengikat bagian atas dan mengaitkannya ke salah satu kaitan yang ada pada tangga; mereka melakukan hal yang sama dengan kedua tali pengikat lainnya, demikianlah mereka memindahkan tali-tali pengikat dari kaitan yang satu ke kaitan yang lainnya, sehingga tubuh kudus Yesus turun dengan perlahan dan lembut ke kepala pasukan, yang, dengan naik di atas sebuah bangku, menerimanya dalam pelukannya, menahan tubuh Yesus pada bagian bawah lutut-Nya; sementara Yusuf dan Nikodemus, dengan menyangga bagian atas tubuh Yesus, menuruni tangga perlahan-lahan, berhenti di setiap anak tangga, dan mengambil segala tindakan pencegahan yang mungkin diperlukan, seperti yang akan dilakukan orang-orang yang membopong tubuh seorang sahabat terkasih yang sedang terluka parah. Demikianlah tubuh Juruselamat Ilahi kita yang memar lebam akhirnya tiba di atas tanah.
Sungguh suatu pemandangan yang menrenyuhkan hati. Mereka semuanya sama berhati-hati, sama penuh perhatian, seolah takut kalau-kalau menyebabkan Yesus kesakitan. Tampaknya mereka mencurahkan pada tubuh kudus segenap kasih dan hormat yang mereka rasakan terhadap Juruselamat kita sepanjang hidup-Nya. Semua mata menatap lekat pada tubuh yang mengagumkan dan mengikuti setiap gerak-geriknya; tak henti-hentinya mereka mengedangkan tangan ke surga, mencucurkan airmata, dan mengungkapkan dengan segala cara yang mungkin dukacita dan kesedihan hebat yang meliputi hati mereka. Namun demikian, mereka semuanya sama sekali tenang dan bahkan mereka yang begitu sibuk dengan tubuh kudus memecahkan keheningan sekali-kali saja, dan jika memang terpaksa mengucapkan sesuatu, mereka mengatakannya dengan suara perlahan. Saat paku-paku dengan paksa dilepaskan dengan hantaman-hantaman palu, Santa Perawan, Magdalena dan mereka semua yang hadir pada saat Penyaliban merasakan setiap hantaman seolah menembusi hati mereka sendiri. Suara dentaman itu membangkitkan kenangan mereka akan segala sengsara Yesus, dan mereka tak kuasa menahan tubuh mereka yang gemetar, kalau-kalau mereka akan mendengar lagi erangan sengsara-Nya yang menyayat hati; meskipun, pada saat yang sama, mereka meratapi bibir terberkati-Nya yang kini diam membisu, yang membuktikan, malang, tapi sungguh benar, bahwa Ia telah sungguh wafat. Saat tubuh Yesus diturunkan, tubuh-Nya terbalut kain lenan dari lutut hingga ke pinggang. Kemudian, mereka meletakkannya dalam pelukan Santa Perawan, yang dengan dikuasai kasih sayang dan dukacita dahsyat, merentangkan kedua tangannya untuk menerima jantung hatinya.
Tubuh Yesus Diurapi
Santa Perawan duduk di atas sebuah kain lebar yang dibentangkan di atas tanah, dengan lutut kanannya agak sedikit terangkat dan punggungnya bersandar pada beberapa mantol yang digulung menjadi satu sehingga membentuk semacam bantalan. Tak seorang pun mengabaikan perhatian sekecil apapun yang dapat membuat Santa Perawan - Bunda Dukacita - merasa sedikit nyaman dalam dukacita dahsyat jiwanya, dalam peran yang mendukakan, namun termulia, yang akan segera ditunaikannya sehubungan dengan tubuh Putranya terkasih. Kepala Yesus yang menawan beristirahat di atas lutut Bunda Maria, dan tubuh-Nya dibaringkan membujur di atas selembar kain. Santa Perawan sepenuhnya dikuasai dukacita dan belas kasih. Sekali lagi, untuk terakhir kalinya, ia merengkuh tubuh Putranya terkasih dalam pelukannya, kepada siapa ia tak dapat memberikan bukti kasihnya sepanjang jam-jam panjang kemartiran-Nya. Ia memandangi luka-luka PutraNya dan dengan penuh mesra membelai pipi-Nya yang berlumuran darah, sementara Magdalena mengusapkan wajahnya ke kaki Yesus.
Para lelaki menuju ke sebuah gua kecil yang terletak di sisi baratdaya Kalvari; di sana mereka mempersiapkan berbagai barang yang diperlukan untuk pengurapan; tetapi Cassius, dengan beberapa prajurit lainnya yang telah dipertobatkan, tetap mengambil jarak dengan hormat. Segenap mereka yang berkehendak jahat telah kembali ke kota, dan para prajurit yang berada di sana hanya sekedar berjaga-jaga guna mencegah gangguan-gangguan yang mungkin terjadi di saat-saat penghormatan terakhir yang disampaikan terhadap tubuh Yesus. Sebagian di antara para prajurit ini bahkan mengulurkan tangan apabila bantuan mereka dibutuhkan. Para perempuan membawa bejana-bejana, bunga-bunga karang, kain-kain lenan, minyak urapan dan rempah-rempah seperti yang dibutuhkan; tetapi apabila bantuan mereka tidak diperlukan, mereka tetap mengambil jarak dengan hormat, dengan penuh perhatian memperhatikan Santa Perawan sementara ia menunaikan tugas dukacitanya; Magdalena tak beranjak dari tubuh Yesus; Yohanes sibuk menolong Santa Perawan, ia hilir mudik antara para lelaki dan para perempuan, memberikan bantuan kepada kedua belah pihak. Ada bersama para perempuan beberapa botol kulit yang besar dan sebuah bejana berisi air yang dijerangkan di atas perapian batu bara. Mereka memberikan kepada Santa Perawan dan Magdalena apa-apa yang diperlukan, bejana-bejana berisi air bersih, dan bunga-bunga karang, yang kemudian mereka peras ke dalam botol-botol kulit.
Ketabahan dan ketegaran Bunda Maria tetap tak tergoyahkan bahkan di tengah dukacitanya yang terdahsyat.* Nyata, sama sekali tak mungkin baginya membiarkan tubuh Putranya dalam keadaan yang mengenaskan sebagaimana tubuh itu dihinakan sepanjang sengsara-Nya, sebab itu Santa Perawan dengan kesungguhan hati yang tak kenal lelah mulai membasuh serta membersihkan tubuh kudus dari bekas-bekas kekejian yang dilampiaskan kepadanya. Dengan amat hati-hati ia melepaskan mahkota duri, membuka ikatan belakangnya, lalu memotong satu demi satu duri-duri yang menembusi kepala Yesus, agar ia tidak mengoyakkan luka-luka-Nya. Mahkota duri diletakkan di samping paku-paku, kemudian Bunda Maria mencabut duri-duri yang masih tertancap dalam kulit dengan semacam sepit bulat** dan dengan pilu diperlihatkannya kepada para sahabatnya. Duri-duri ini ditempatkan bersama dengan mahkota duri, tetapi sebagian dari onak duri itu pastilah telah disimpan secara terpisah.
* Pada hari Jumat Agung, 30 Maret 1820, sementara Sr Emmerick merenungkan tubuh Yesus diturunkan dari Salib, tiba-tiba ia tak sadarkan diri di hadapan penulis naskah ini, dan tampak seolah mati. Namun, selang beberapa waktu kemudian ia siuman kembali dan menyampaikan penjelasan berikut ini, meskipun masih dalam keadaan sengsara hebat, “Sementara aku bermeditasi atas tubuh Yesus yang terbaring di pangkuan Santa Perawan, aku berkata kepada diriku sendiri, `Alangkah luar biasa ketabahannya! Ia tidak jatuh pingsan barang sekali pun!' Pembimbingku menegurku karena pemikiran ini - di mana pemikiran ini lebih merupakan keheranan daripada belas kasihan - dan berkata kepadaku, `Baik, tanggunglah sekarang apa yang diderita Santa Perawan!' Tepat saat itu, suatu perasaan dukacita yang amat dahsyat menembusi jiwaku bagaikan sebilah pedang, hingga aku yakin pastilah aku mati karenanya.” Sr Emmerick harus menderita sengsara ini untuk jangka waktu yang lama, dan sebagai konsekuensinya, penderitaan itu mengakibatkan ia sakit parah hingga nyaris menghantarnya ke liang kubur.
** Sr Emmerick mengatakan bahwa bentuk sepit ini mengingatkannya akan gunting yang dipergunakan untuk menggunting rambut Simson. Dalam penglihatannya akan tahun ketiga pewartaan Yesus di hadapan publik, ia melihat Tuhan kita merayakan hari Sabat di Misael - sebuah kota milik kaum Lewi dari suku Asyer - dan karena sebagian dari Kitab Hakim-Hakim dibacakan di sinagoga, Sr Emmerick pada waktu itu melihat kehidupan Simson.
Wajah ilahi Juruselamat kita hampir tak dapat dikenali lagi, rusak hebat akibat luka-luka dan memar. Jenggot dan rambut-Nya lengket dengan darah. Bunda Maria membasuh kepala dan wajah, menyeka rambut-Nya dengan bunga-bunga karang basah guna membersihkannya dari darah yang mengental. Sementara ia menunaikan tindakan salehnya, dahsyatnya kekejian yang dilancarkan atas diri Putranya semakin dan semakin tampak nyata, membangkitkan dalam jiwanya perasaan belas kasih dan kelemahlembutan yang semakin bertambah sementara ia beralih dari satu luka ke luka lainnya. Santa Perawan membasuh luka-luka di kepala, kedua mata yang bersimbah darah, lubang hidung, dan telinga, dengan sebuah bunga karang dan sehelai saputangan lenan yang digenggam dalam tangan kanannya; lalu ia membersihkan dengan kasih dan kelembutan yang sama, mulut yang setengah ternganga, lidah, gigi dan bibir-Nya. Ia membagi rambut Yesus yang masih tersisa menjadi tiga bagian,* satu bagian di masing-masing pelipis, dan yang ketiga di belakang kepala-Nya; ketika telah diluruskan dan dirapikannya rambut bagian depan dari kekusutan, ia menyelipkannya di belakang telinga-Nya. Ketika kepala Putranya telah dibasuh dan dibersihkan dengan seksama, Santa Perawan menyelubunginya dengan sehelai selubung, setelah terlebih dahulu mencium kedua pipi kudus Putranya terkasih. Lalu, ia mengalihkan perhatiannya pada leher, pundak, dada, punggung, kedua tangan dan kaki-Nya yang berlubang. Seluruh tulang dada Tuhan kita terlepas dari persendiannya dan tak dapat ditekuk. Terdapat suatu luka mengerikan di bahu yang menyangga beban Salib, dan sekujur tubuh bagian atas dipenuhi memar dan bilur-bilur dalam akibat deraan cambuk. Di dada kiri terdapat suatu luka kecil di mana ujung tombak Cassius muncul setelah menembusi hati-Nya, di lambung kanan terdapat suatu luka menganga akibat tikaman tombak yang sama. Bunda Maria membasuh segala luka ini, sementara Magdalena berlutut, melayaninya dari waktu ke waktu; namun tanpa sekejap pun beranjak dari kaki kudus Yesus, yang ia basahi dengan airmata dan ia seka dengan rambutnya.
* Merupakan kebiasaan Sr Emmerick, saat membicarakan tokoh-tokoh penting dalam sejarah, menjelaskan bagaimana mereka membagi rambut mereka. “Hawa,” katanya, “membagi rambutnya menjadi dua bagian, tetapi Bunda Maria membaginya menjadi tiga.” Tampaknya ia memberi penekanan pada kata-kata ini. Tak ada kesempatan baginya untuk menjelaskan masalah ini, yang mungkin menunjukkan apa yang dilakukan dengan rambut dalam kurban, pemakaman, pentahbisan, atau kaul, dsbnya. Suatu ketika pernah ia mengatakan tentang Simson: “Rambutnya yang pirang, panjang dan tebal, dijalin di atas kepalanya dalam tujuh kepang, serupa helm, dan ujung-ujung dari kepangnya diikatkan sekeliling kening dan pelipisnya. Rambutnya sendiri bukanlah sumber kekuatan, melainkan hanya sebagai saksi atas nazar yang ia ucapkan untuk membiarkan rambutnya itu tumbuh demi kemuliaan Tuhan. Daya kekuatan yang ada dalam ketujuh kepang ini adalah ketujuh karunia Roh Kudus. Pastilah Simson telah melanggar nazarnya dan kehilangan banyak rahmat, saat ia membiarkan lambangnya sebagai seorang Nazir Allah ini dipotong. Aku tidak melihat Delila memotong semua rambutnya, aku pikir satu kuncir masih ada di keningnya. Ia mempergunakan rahmat itu untuk menyesali dosa dan bertobat, sehingga ia memperoleh kembali kekuatan yang cukup untuk membinasakan para musuhnya. Hidup Simson mengandung pralambang dan nubuat.”
Kepala, dada dan kedua tangan serta kaki Tuhan kita sekarang telah dibasuh, dan tubuh kudus, yang dipenuhi noda-noda cokelat dan merah di bagian-bagian di mana kulit-Nya terkelupas, dan yang berwarna putih kebiruan, serupa daging yang telah diperas dari darahnya, terbaring di pangkuan Bunda Maria, yang menyelubungi bagian-bagian yang telah dibasuhnya dengan kain selubung, dan lalu mulai mengurapi segala luka-luka-Nya. Para perempuan kudus berlutut di sisinya, bergantian mengulurkan sebuah kotak kepadanya, dari mana Santa Perawan mengambil minyak urapan yang berharga, mengoles serta mengurapi luka-luka-Nya. Ia juga mengurapi rambut Putranya, menggenggam kedua tangan kudus Yesus dengan tangan kirinya, lalu dengan hormat menciumnya, mengurapi luka-luka menganga akibat paku-paku dengan minyak atau dengan rempah-rempah harum. Begitu pula ia mengurapi telinga, lubang hidung dan luka di lambung dengan campuran minyak berharga yang sama. Sementara itu, Magdalena menyeka dan mengurapi kedua kaki Tuhan kita, lalu membasahinya lagi dengan airmatanya, acapkali ia menyapukan wajahnya pada kaki-Nya.
Air yang dipergunakan untuk membasuh sang Juruselamat tidak dibuang, melainkan dimasukkan ke dalam botol-botol kulit dengan memeras bunga-bunga karang. Aku melihat Cassius atau beberapa prajurit lainnya pergi beberapa kali untuk mengambil air jernih dari sumber mata air Gihon, yang tak berapa jauh letaknya. Ketika Santa Perawan telah mengurapi segala luka-luka Yesus dengan minyak urapan, ia membalut kepala Yesus dengan kain lenan, tetapi wajah-Nya belum diselubunginya. Ia mengatupkan kedua mata Yesus yang setengah terbuka, dan membiarkan tangannya berada di atasnya beberapa saat lamanya. Ia juga mengatupkan mulut-Nya yang setengah terbuka, dan lalu memeluk mesra tubuh kudus Putranya terkasih, mengusapkan wajahnya penuh kasih sekaligus hormat ke atas wajah-Nya. Yusuf dan Nikodemus telah menunggu beberapa waktu lamanya, ketika akhirnya Yohanes datang menghampiri Santa Perawan dan memohon ijin agar diperkenankan membawa tubuh Putranya, agar pengurapan dapat diselesaikan, mengingat Sabat sudah menjelang. Sekali lagi Bunda Maria memeluk erat tubuh kudus Yesus, mengucapkan salam perpisahan dengan kata-kata yang sungguh menyentuh hati, lalu para lelaki mengambil tubuh sang Putra darinya dengan beralaskan sehelai kain dan membawanya pergi beberapa jauh. Dukacita pilu Bunda Maria beberapa saat lamanya sedikit dihiburkan dengan perasaan kasih dan hormat dengan mana ia menunaikan tugasnya yang mulia; tetapi sekarang, dukacita itu sekali lagi menyayat hatinya, dan ia roboh dengan wajah tertutup kerudungnya, ke dalam pelukan para perempuan kudus. Magdalena hampir-hampir merasa seperti Kekasih-nya direnggut paksa darinya, ia bergegas lari mengejar beberapa langkah jauhnya dengan kedua tangan terulur; namun, sejenak kemudian, ia menghentikan langkahnya dan kembali kepada Santa Perawan.
Tubuh kudus dibawa ke suatu tempat di bawah permukaan puncak Golgota, di mana permukaan bukit karang yang rata dapat difungsikan sebagai suatu balai yang nyaman untuk mengurapi tubuh Tuhan. Pertama-tama, aku melihat sehelai kain lenan yang berlubang-lubang, amat serupa dengan renda, yang mengingatkanku akan tirai bordir yang besar, yang digantungkan antara tempat koor dan panti umat dalam Masa Prapaskah.* Mungkin lubang-lubang itu dimaksudkan agar air dapat mengalir. Aku juga melihat sehelai kain besar lainnya dibuka dari lipatan. Tubuh Juruselamat kita dibaringkan di atas kain lenan yang berlubang-lubang, beberapa lelaki memegangi kain satunya yang dibentangkan di atas tubuh-Nya. Nikodemus dan Yusuf kemudian berlutut, dan di bawah bentangan kain, mereka melepaskan kain lenan yang tadinya mereka balutkan sekeliling pinggang Juruselamat kita, saat mereka menurunkan tubuh-Nya dari Salib. Lalu mereka mengambil bunga-bunga karang, dan di bawah kain yang dibentangkan itu, membasuh bagian bawah tubuh Yesus; sesudahnya mereka mengangkat tubuh kudus dengan bantuan kain-kain lenan yang disilangkan di bawah pinggang dan kedua lutut-Nya; lalu membasuh punggung Yesus tanpa membalikkan tubuh-Nya. Mereka terus membasuh hingga air jernih saja yang akhirnya keluar dari perasan bunga-bunga karang. Selanjutnya mereka menuangkan air mur ke atas sekujur tubuh kudus, dan lalu, dengan penuh hormat, merentangkannya hingga lurus, sebab tubuh-Nya masih dalam posisi sebagaimana Tuhan Allah kita wafat - pinggang dan kedua lutut-Nya tertekuk. Kemudian mereka menempatkan di bawah pinggul Tuhan kita sehelai kain yang lebarnya satu yard dan panjangnya tiga yard, meletakkan di atas pangkuan-Nya kantong-kantong rempah-rempah harum, dan membubuhkan ke sekujur tubuhnya bubuk yang dibawa Nikodemus. Selanjutnya mereka membungkus bagian bawah tubuh kudus, dengan erat membalutkan kain yang tadi mereka letakkan dibawah pinggul Yesus ke sekeliling tubuh-Nya. Sesudah itu, mereka mengurapi luka-luka di kedua paha, menempatkan kantong-kantong rempah-rempah di antara kedua kaki, yang telah direntangkan hinga lurus, dan membubuhi seluruhnya dengan rempah-rempah harum.
* Hal ini berkenaan dengan suatu tradisi di Keuskupan Münster. Sepanjang Masa Prapaskah, di gereja-gereja digantungkan sebuah tirai bordir bersulamkan Kelima Luka-luka Yesus, alat-alat Sengsara, dll.
Lalu Yohanes membimbing Santa Perawan dan para perempuan kudus lainnya untuk sekali lagi berada di sisi Yesus. Bunda Maria berlutut di sisi kepala Yesus, dan menempatkan di bawah kepala Putranya sehelai kain lenan yang amat baik mutunya, yang diberikan kepadanya oleh isteri Pilatus, dan yang tadinya dikenakan Santa Perawan sekeliling lehernya di bawah mantolnya sendiri; selanjutnya, dengan dibantu para perempuan kudus, ia membubuhkan dari pundak hingga ke pipi Putranya, kantong-kantong ramu-ramuan, rempah-rempah, bubuk wangi-wangian, dan kemudian mengikat erat kain lenan itu sekeliling kepala dan pundak tubuh kudus. Magdalena menuangkan sebotol kecil minyak balsam ke dalam luka lambung-Nya, dan para perempuan kudus membubuhkan lebih banyak rempah-rempah ke dalam luka-luka di kedua kaki dan tangan Yesus. Kemudian para lelaki membubuhkan rempah-rempah harum sekeliling sisa tubuh-Nya, menyilangkan kedua tangan kudus yang telah kaku ke atas dada-Nya, dan mengikatkan kain putih lebar sekeliling tubuh-Nya dari bawah sampai ke dada, dengan cara yang sama seperti orang membedung bayi. Lalu, setelah menempatkan ujung sebuah pita besar di bawah kedua ketiak-Nya, mereka melingkarkannya sekeliling kepala dan sekujur tubuh. Akhirnya, mereka membaringkan Tuhan Allah kita di atas sehelai kain besar yang panjangnya enam yard, yang dibeli Yusuf dari Arimatea, dan membungkus tubuh kudus. Tubuh Yesus terbaring diagonal di atas kain itu, salah satu ujung kain diangkat dan ditutupkan ke tubuh Yesus dari bagian kaki hingga ke dada, ujung satunya ditutupkan dari kepala ke pundak, sementara kedua ujung kain yang melintang dibalutkan dua kali sekeliling tubuh-Nya.
Santa Perawan, para perempuan kudus, para lelaki - semuanya berlutut sekeliling tubuh Yesus untuk menyampaikan salam perpisahan, ketika suatu mukjizat yang menggetarkan hati terjadi di hadapan mereka. Tubuh kudus Yesus, dengan segala Luka-lukanya, tampak tercetak di atas kain yang membalutnya, seolah Yesus bersuka hati mengganjari segala kasih mereka dan meninggalkan bagi mereka suatu gambar DiriNya Sendiri pada kain selubung yang membungkus tubuh-Nya. Dengan airmata bercucuran mereka memeluk tubuh kudus, dan dengan hormat mencium gambar mengagumkan yang ditinggalkan-Nya sebagai kenangan. Mereka semakin takjub ketika, saat mengangkat kain lenan, melihat bahwa segala ikatan yang membalut tubuh-Nya tetap putih sama seperti sebelumnya, dan bahwa gambar hanya tercetak pada kain bagian atas saja dengan cara yang amat mengagumkan. Gambar tersebut bukan disebabkan oleh luka-luka yang berdarah, karena sekujur tubuh Yesus dibalut dan dibubuhi rempah-rempah harum, melainkan merupakan suatu gambar adikodrati, yang menjadi saksi atas daya cipta ilahi yang senantiasa tinggal kekal dalam tubuh Yesus. Aku melihat banyak hal sehubungan dengan sejarah selanjutnya dari kain lenan ini, tetapi aku tak dapat menggambarkannya secara berkesinambungan. Setelah kenaikan Yesus ke surga, kain lenan tetap menjadi milik para sahabat Yesus, namun dua kali jatuh ke tangan orang-orang Yahudi; di kemudian hari, kain lenan dihormati di berbagai tempat. Aku melihatnya berada di sebuah kota di Asia, menjadi milik beberapa umat Kristiani yang adalah orang-orang Katolik dengan iman yang berkobar-kobar. Aku lupa nama kota itu, yang terletak di sebuah propinsi dekat negeri Tiga Raja.
Tubuh Yesus Dibaringkan dalam Makam
Para lelaki membaringkan tubuh kudus di atas semacam tandu kulit yang mereka selubungi dengan sehelai kain berwarna cokelat; dua tongkat panjang mereka pasangkan pada tandu. Hal ini serta-merta mengingatkanku akan Tabut Perjanjian. Nikodemus dan Yusuf memanggul gagang tongkat bagian depan, sementara Abenadar dan Yohanes memanggul gagang bagian belakang. Berjalan di belakang mereka adalah Santa Perawan, Maria Heli - kakaknya -, Magdalena dan Maria Kleopas, diikuti rombongan para perempuan yang tadinya duduk agak di kejauhan - Veronica, Yohana Khuza, Maria ibunda Markus, Salome isteri Zebedeus, Maria Salome, Salome dari Yerusalem, Susana, dan Anna kemenakan St Yosef. Cassius dan para prajurit berjalan di barisan paling belakang. Para perempuan lain, seperti Maroni dari Naim, Dina Orang Samaria, dan Mara orang Sufan, sedang berada di Betania, bersama Marta dan Lazarus. Arak-arakan didahului oleh dua prajurit yang berjalan dengan suluh di tangan guna memberi penerangan dalam grotto makam. Iring-iringan bergerak maju dengan urut-urutan seperti di atas selama sekitar tujuh menit; orang-orang kudus, baik laki-laki maupun perempuan, memadahkan mazmur dengan nada lembut namun sedih. Aku melihat Yakobus Tua, saudara Yohanes, berdiri di atas sebuah bukit di balik lembah, melihat iring-iringan lewat, dan segera kembali untuk menyampaikan apa yang baru saja ia saksikan pada murid-murid yang lain.
Arak-arakan berhenti di pintu masuk taman milik Yusuf, yang dibuka dengan memindahkan tonggak-tonggak kayu yang sesudahnya dipergunakan sebagai kayu pengungkit untuk menggulingkan batu ke pintu makam. Ketika berada di depan bukit batu, mereka membaringkan tubuh kudus di atas sebilah papan panjang yang dilapisi selembar kain. Grotto, yang baru digali, selang beberapa waktu sebelumnya telah dibersihkan oleh para hamba Nikodemus, sehingga interiornya tampak rapi dan indah dipandang. Para perempuan kudus duduk di depan grotto, sementara keempat lelaki mengusung masuk tubuh Tuhan kita; sebagian lainnya mengisi balai dalam ceruk yang diperuntukkan bagi jenazah dengan rempah-rempah harum, menghamparkan sehelai kain di atasnya, di mana dengan hormat mereka membaringkan tubuh kudus. Setelah sekali lagi mengungkapkan kasih mereka dengan airmata dan peluk kasih, mereka meninggalkan grotto. Bunda Maria masuk, duduk dekat sisi kepala Putranya terkasih dan membungkuk ke atas tubuh-Nya dengan airmata berderai. Ketika Santa Perawan meninggalkan grotto, Magdalena dengan tak sabar bergegas masuk dan menaburkan ke atas tubuh Yesus bunga-bunga dan ranting-ranting yang ia kumpulkan dari taman. Lalu, ia menjalin erat jari-jari kedua tangannya dan dengan isak tangis menciumi kaki Yesus; tetapi para lelaki menyampaikan kepadanya bahwa mereka harus segera menutup pintu makam, karenanya ia pun kembali kepada para perempuan kudus. Mereka menyelimuti tubuh kudus dengan ujung-ujung kain di mana tubuh terbaring, lalu di atas semuanya itu mereka menghamparkan kain penutup berwarna cokelat, menutup pintu-pintu lipat yang terbuat dari logam berwarna merah kecoklatan, di mana terdapat dua tonggak di depannya, yang satu membujur dan yang lain melintang, sehingga secara sempurna membentuk sebuah salib.
Batu besar yang akan mereka gunakan untuk menutup makam, yang masih tergeletak di depan grotto, bentuknya amat mirip peti* atau makam; batu itu cukup panjang hingga seorang dewasa dapat berbaring di atasnya, juga sangat berat hingga hanya dengan bantuan pengungkit para lelaki dapat menggulingkannya ke depan pintu makam. Pintu masuk grotto ditutup dengan sebuah gerbang yang terbuat dari dahan-dahan pohon yang dijalin. Segala sesuatu yang dilakukan dalam grotto harus dikerjakan di bawah penerangan cahaya suluh, sebab cahaya matahari tidak pernah sampai ke dalamnya.
* Tampaknya, di sini Sr Emmerick berbicara tentang peti kuno yang biasa digunakan warga desanya yang miskin untuk menyimpan pakaian mereka. Bagian bawah peti ini lebih kecil dari bagian atasnya, memberinya kesan menyerupai makam. Sr Emmerick mempunyai satu peti seperti ini, yang disebut sebagai petinya. Ia biasa menggambarkan batu makam dengan perbandingan ini, namun demikian, penggambarannya tidak membantu kita memiliki gambaran yang cukup jelas akan bentuknya.
Bersambung..
No comments:
Post a Comment